Zhimphony

05:13 p.m. — Green Bookstore.

BRUK! Buku tak bersalah jatuh penuh emosi di antara tumpukan buku lainnya. Rendy sang pelaku, mendengus kesal dengan kerutan dahi yang semakin kentara. Biasanya Rendy akan memasang air muka setenang danau walaupun sedang dilanda amarah atau kesedihan. Namun kali ini ia mengabaikan hal itu, karena tidak ada pengunjung lain selain dirinya di toko ini. Tubuhnya berbalik, melangkah menuju pintu keluar hendak kembali pada Kiera. Namun langkahnya terhenti saat ponsel miliknya bergetar dari balik saku jaketnya.

“Ren, gue udah selesai cek semua website tapi hasilnya nihil. Bahkan admin olshop gak ada yang tau soal buku yang lo cari. Mereka bilang gak pernah lihat buku itu selain denger ceritanya waktu kecil.” Ujar seorang pria dibalik panggilan.

“Jadi menurut lo, mahkota yang hilang hanya dongeng semata?” Ujar Rendy.

“Awalnya gue mikir gitu. Tapi gue nemuin sesuatu yang gue sendiri gak percaya kalo ini nyata. Gue gak bisa jelasin di sini. Mending lo balik ke dorm dan bakal gue tunjukin langsung.”

“Oke thanks bro, gue segera kesana.”

“My pleasure, sob.” Panggilan berakhir.

Rendy kembali memasukkan ponselnya ke dalam jaket. Rasa penasarannya semakin menjadi-jadi, ia melanjutkan langkahnya dengan tergesa hingga suara seseorang berhasil menghentikan langkahnya.

“Anak muda?” Panggil seorang kakek pemilik toko pada Rendy.

“Kau mencari buku mahkota yang hilang?” Tanya pria tua itu.

“Ah, iya betul pak. Bapak menjual buku itu?” Jawab Rendy antusias.

“Tidak nak, tapi seseorang di toko buku merah tau banyak soal buku yang kau cari.” Ujar sang pemilik toko buku hijau.

'Hanya ada tiga toko buku di sini. Itu artinya, Nathan. Nathan di sana.' Batin Rendy.

“Kau sudah melangkah sejauh ini. Semoga berhasil, anak muda.” Rendy berterimakasih pada sang kakek seraya tersenyum hangat. Namun seketika senyum itu pudar saat sang kakek mengucapkan kalimat selanjutnya.

“Kebenaran dan masa depan negara ini ada di tangan anak muda seperti kalian.” —Kakek toko buku hijau.

important! don't skip this part (773 words)

image


Bintang melihat jam pada layar ponsel miliknya dan segera bangkit dari kasur setelah tersadar bahwa ia tertidur selama tiga jam. Netranya menyapu ruangan, tidak didapati sosok calon kakak iparnya di sana. Bintang segera membasuh wajahnya dan menambahkan sedikit bedak plus liptint agar tidak pucat. Setelah dirasa fresh kembali, ia melangkah keluar dari kamar, namun hanya didapati Bara yang sedang menunggunya di halaman depan villa. Kehadirannya disambut hangat oleh Bara.

“Oh? Udah bangun?” Lekuk eye smile terukir di wajahnya, senyumnya menghangatkan hati persis seperti rona langit sore hari itu.

“Yang lain di mana?” Bintang menelisik sekitar namun tidak menemukan siapapun.

“Pergi beli bahan makanan” Bara menjawab. Tangan Bara terulur menarik lembut tangan Bintang, menuntunnya ke tepi pantai.

“Oh iya, nih minum. Seger banget fix!” Bara memberikan es kelapa dalam bentuk kelapa yang telah di buka dan terdapat sedotan di atasnya. Sambil berjalan perlahan, Bintang mengambil buah itu dari genggaman Bara dan berpindah ke tangan kirinya.

Mereka bergandengan tangan dan berhenti di tepi pantai, tepat dimana matahari lurus tenggelam di hadapan mereka nanti. Keduanya duduk bersila di atas lembutnya pasir. Hening. Deru ombak beserta aroma laut menghiasi sore mereka. Tak lupa dengan es kelapa yang dinikmati bersama menambah kesan manis antar keduanya.


“Bara udah tau ya?” Bintang memulai percakapan. Pandangannya masih lurus menatap langit jingga.

“Soal?” Bara mengalihkan atensinya pada Bintang.

“My family” Bintang menjawab. Kali ini netranya balas menatap sendu sang kekasih. Bara tersenyum tipis seraya tangan kirinya mengusap lembut pucuk kepala sang gadis.

“Abang kamu udah cerita. Semuanya baik-baik aja, Star” Bintang ikut tersenyum. Hangatnya sore itu dihiasi deru ombak dan langit jingga, namun terasa ada sedikit sendu di dalamnya.

“Bara?” Bintang kembali menatap langit, namun tetap membuka percakapan antar mereka.

“Hmm?” Bara menanggapi panggilan Bintang sambil menatap wajah favoritnya.

“Mau cerita?” Atensi Bintang yang semula pada langit berpindah ke pasir pantai, Bara mengerti. Manik Bara kini menatap langit, hela napas pelan tercipta, menghirup udara segar khas laut.

“Mama...” Ada jeda sebelum ia melanjutkan. “Pergi.”

Bintang sempat tercekat namun tetap diam mendengarkan.

“Bara gak tau dimana beliau, awalnya emang sulit. Bara sempat marah sama Papa karna udah buat Mama pergi. Tapi sekarang Bara udah dewasa, itu urusan mereka. Bahkan waktu Bara cari tau posisi Mama, hasilnya nihil. Gak ada jejak. Bara harap, Mama baik-baik aja dan suatu hari muncul buat lihat anak semata wayangnya ini. Hahahaa, terdengar mustahil ya? Tapi gak papa kan kalau Bara berharap?”

Bintang menoleh pada Bara, ia memotong jarak. Merangkul lengan kiri sang kekasih juga menyandarkan kepala di sana. Hangat. Hati Bara terasa hangat saat Bintang di sampingnya. Mengobati segala kerinduannya pada sang ibunda. Menjadikannya sosok satu-satunya perempuan yang bertahan di sisi nya.

Matahari mulai mendekati garis pantai, memancarkan sorot jingga di langit bagai lukisan Tuhan yang terindah.


“Star?”

“Hmm?”

“Tu sei una stella ... la mia stella.”

“Artinya?”

“Kau adalah bintang ... Bintang-ku.”

Dua pasang Netra legam saling memandang, seolah lupa pada surya yang pudar ditelan laut.

“Kita cheesy banget gak sih? HAHAHAHA” Keduanya tertawa bahagia di sana.

Alunan musik terdengar dari balik punggungnya, Bintang menoleh ke belakang namun tak mendapati apapun di sana. Ia berdiri, matanya menyapu area pantai mencari sumber suara, lalu—

Gelap.

Kedua tangan Bara menutup pandangan Bintang. Menuntunnya ke suatu tempat. Bintang merespon kebingungan namun langkahnya tetap mengikuti. Hingga beberapa saat kemudian, Bara melepas tangannya dari sana.

Bintang membuka pandangannya perlahan, beradaptasi dengan cahaya di depannya. Berangsur-angsur pandangannya mulai jelas. Netranya membulat, tempo jantungnya semakin cepat. Ia lemas, air yang menggenang di pelupuk mata jatuh tak terelakkan saat dilihatnya sosok sang kekasih berlutut di hadapannya.

Bara berlutut dengan kaki kanan sebagai tumpuan, tangannya terulur menggenggam sebuah kotak kecil berisi cincin. Maniknya menangkap manik lain di depan sana, dilihatnya sang gadis menangis sambil menutup mulut dengan kedua tangan.

*“My heart was a desert until you came and watered it with your love. Let's spend the rest of our lives together pulling the weeds and enjoying the blossoms.”

“Star, will you marry me?”

Deru ombak dan alunan musik menjadi backsound hari bersejarah itu. Hari dimana senja beserta kawanannya menjadi saksi saat anak adam melamar anak hawa untuk menjadi pendamping hidupnya.

“Yes, i will”

Bara bangkit setelah memasangkan cincin di jari manis Bintang, lalu mengecup lembut kening sang kekasih sebagai tanda tulus cinta nya. Tepuk tangan mulai terdengar dari balik gazebo. Bintang menelisik ada siapa di sana. Tangis nya semakin pecah saat ia dapati seluruh anggota keluarganya hadir di sana. Trio J, ACE5, Deva, Bahkan Papi Mami dan tuan Aldebaran ikut hadir di hari bahagia itu. Cukup. Ini lebih dari cukup baginya.

Dua jadi Satu, dari kisah keju jadi menantu.

Selamat untuk Bara dan Bintang. May the world make your love life full of happiness.


. . .

Fin- . . .

-Zhi

Tw : Slight Angst, D word, Accident. Please be carefull, read with caution. (754 words)

image


“Yakin?”

“Lo gak akan pernah tau kalau belum nyoba”

Begitulah percakapan antara Jefrian dan Jonathan, keduanya berencana membahas suatu hal yang menurut mereka penting atau memang sangat penting. Jefrian merogoh saku celananya, mengambil sebuah ponsel berwarna graphite dari dalam sana. Dicarinya sebuah nomor dari daftar panggilan masuk dan tak lama kemudian terjadi percakapan dua arah.

“Ada apa bang?” Respon panggilan tersebut.

“Ke warung, sekarang.”

“Ngapain anjir gue mau jagain Bintang”

“Bintang udah jago ngetrail yaelah! lagian ada cewe gue juga di sana. Mending lo ke sini atau gue gagalin rencana lo.”

“Buset bercandanya gak lucu. Iye dah otw.” Sedetik kemudian panggilan mereka terputus.


Bara berlari menuju warung dekat area parkir di mana duo 'J' dan Hendri sedang bersantai menunggu kehadirannya. Lukas? Ia sedang di area parkir, berbincang dengan tukang parkir yang sama cerewetnya.

“Paan?” Kedatangan Bara dengan nafas yang tersengal menginterupsi duo J yang sedang sibuk berebut es batu dari dalam cup es jeruk. Keduanya menoleh serempak dan mempersilakan Bara untuk duduk di antara mereka.

“Lo harus tau sesuatu.”

“About what?”

“Bintang.” Atensinya semakin fokus ketika nama perempuan sagitarius itu disebut.

*“Yakin sama keputusan lo?” Jefrian bertanya pada Bara. Yang ditanya seketika menegapkan posisi duduknya. Walaupun bukan duduk siap, namun cukup jelas bahwa topik kali ini akan serius.

“Bang, kita udah bahas ini waktu itu dan gue yakin untuk—wait. Lo ngapain masih di sini?” Atensinya berpindah pada Jonathan yang sedang ikut menyimak.

“Jo harus di sini.” Jawab Jefrian sambil mengunyah es batu kemudian.

“Haha. Yaelah bang, karena elo kakanya ya lo harus di sini. Tapi dia? Apa urusannya? Gue gak mau ya bahas privacy ke orang asing.”

“Justru itu. Jonathan. Harus di sini.” Jefrian menekankan suara pada kalimatnya barusan.

“Bang lo ngerti gak s—”

“Dia abangnya.” Bara terdiam berusaha mencerna segala kalimat yang baru saja ia dengar. Otaknya bekerja cepat mengolah segala kalimat dengan kejadian yang telah lalu dan ia satukan menjadi sebuah kemungkinan.

“I'm her brother, even i'm not her biological brother, i'm still her brother.” Jonathan angkat bicara.

Gerigi syaraf otak Bara bergerak cepat merapihkan segala memori yang kusut. Ia mengingat bagaimana perhatian Jonathan pada Bintang, juga reaksi Bintang saat Bara beradu otot dengan Jonathan. Untaian benang mulai rapih membentuk fakta yang tidak disangka. Tubuhnya mematung, lamunannya disadari oleh dua orang di sana. Salah satunya bersiap membuka mulut, mengungkapkan fakta penentu keputusan.

“Lo udah tau siapa orang tua Bintang, kan? Lo cari tau sendiri pake koneksi lo. Tapi satu hal yang belum lo tau, her father is not her biological father. Dia bokap kandung gue. Mereka nikah saat Bintang masih SD. Ayah kandungnya kecelakaan mobil dan tewas di tempat, dan Bintang nyaksiin itu.”

Bara masih dalam lamunannya, menyimak segala fakta yang belum ia ketahui tentang keluarga sang kekasih.

“Papa sengaja ninggalin kantor demi menjemput putrinya pulang sekolah dan bisa jalan-jalan dengan putrinya yang sedang berulang tahun. Beliau orang yang sibuk dan ambisius soal kerjaan. Hari itu, pertama dan terakhir kalinya Bintang merasakan kasih sayang dari Ayah kandungnya.” Jefrian bercerita dengan mata yang mulai basah, luka nya terbuka.

*“Bintang pasti gak pernah cerita soal keluarganya. Lo udah tau kenapa. Bisnis keluarga. Pasar kita saingan. Effort lo juga pasti gede buat yakinin pak Aldebaran soal hubungan lo. Gue juga ngerasain karna gue ikut turun dalam ngeyakinin orang tua gue soal kalian berdua dan soal rencana lo. Bintang gak siap kalo harus pisah sama lo”

Ya. Saat di Italy, selain memegang kendali cabang perusahaan, Bara berusaha mencuri hati Papanya soal hubungan romansa ia dengan sang kekasih. Awalnya memang kacau, Papanya menolak keras hingga menyuruhnya untuk mengakhiri hubungan mereka. Tapi Bara tidak gentar. Bara rela berlutut dan menjanjikan akan memegang perusahaan dengan baik. Karena awalnya Bara tidak tertarik dengan perusahaan keluarganya. Tapi karena masih ada dalam lingkup otomotif, Bara mengambil keputusan lain. Juga demi sosok yang ia cintai.

“Gue tanya sekali lagi. Lo yakin?”

Hening mengalun bersama angin.

Lamunannya hilang. Kepala yang menunduk mulai terangkat, manik hitam Bara menatap tegas penuh keyakinan. Dari awal, Bara tau bahwa keputusan ini murni keinginannya. Tangannya mengepal, tanpa keraguan sedikitpun, ia menjawab.

“Jawaban gue tetep sama. Gue. Yakin.”

Sudut bibirnya sedikit terangkat. Rasanya keputusan ini tepat. Jo menerawang ke belakang melihat waktu yang telah lalu. Bintang; Sosok utama yang menjadi pusat perhatian kedua abangnya. Pandangannya beralih pada laki-laki valentine di depannya. Ia sangat paham seberapa besar kekhawatiran Jef, atau mungkin lebih besar dari dugaannya.

Seberapa sering bertengkar, seberapa sering berdebat, seberapa sering saling mengejek. Seorang kakak menginginkan yang terbaik untuk adik nya.

Jefrian membalas atensi Jo sekilas, dan beralih pada cup es di tangannya, lantas bergumam pelan.

“Lulus.”


. . .

To be continued- . . .

-Zhi


image


Bara menyalakan mesin motornya, berniat memanaskannya terlebih dulu sebelum memulai perjalanan. Bukan hanya mesin motor yang panas saat itu, tapi hatinya juga ikut panas. Di hadapannya, Bintang duduk di atas jok motor milik Jonathan. Bara tak mengerti dengan jalan pikir Jefrian. Mengapa Bintang malah di titipkan pada Jonathan? Mengapa bukan dengannya? Apa karna Bara seorang pembalap dan takut dibawa ngebut? Hhhh jangan konyol, Jonathan juga seorang pembalap. Begitulah yang Bara pikirkan sejak tadi.

Emosinya semakin meluap ketika Jonathan menoleh ke belakang menatap Bintang dan mengaitkan gesper helmet yang Bintang kenakan.

TIIIIIINNNN!!! Suara klakson berbunyi cukup panjang, membuat setiap pendengarnya menoleh ke sumber suara. Bara. Dengan sengaja Bara menekan tombol klakson saat melihat peristiwa tadi. Air muka nya datar, namun kedua netra legam miliknya menatap tajam pada tersangka. Itu sebuah peringatan.


Total rombongan berjumlah lima motor dengan lima orang pengendara dan dua orang penumpang. Lima laki-laki dan dua perempuan. Bara, Hendri, Lukas berkendara seorang diri sedangkan Jonathan dengan Bintang dan Jefrian dengan tunangannya. Rombongan itu melaju menyusuri kota melewati jalan tol dan lama kemudian mulai menyusuri area yang jauh dari perkotaan. Mereka menghentikan perjalanan pada sebuah penyewaan motor trail di sebuah area lintasan khusus trail. Bintang segera turun dari motor dan belari ke arah Bara.

“Baraaa” Senyumnya merekah menghiasi wajah yang paling Bara sukai. Air muka Bara yang semula suram seketika berwarna saat melihat sang kekasih berlarian ke arahnya.

“Bara, ngetrail yuk? Hihiii”

Tawa Bara lepas setelah mendengar ajakan Bintang. Tangannya terjulur ke depan, telunjuk kanannya menyentuh lembut ujung hidung sang gadis. “Emangnya bisa?” Ejekan Bara berhasil membuat Bintang memasang raut wajah kesal tapi tetap menggemaskan di mata Bara. Selalu.

“Ck. Yaudah Star sendirian aja.”


“Yakin?”

“Ya kita gabakal tau kalau belum nyoba.” Jonathan mengangguk mendengar pernyataan saudara tirinya itu. “Lagian tuh anak gercep bener masa gue dilangkahin HAHAHAA” Tawa Jefrian lepas dan baru berhenti saat tersadar tunangannya entah berada dimana. “Istri gue mana cuk?” Jefrian bangkit dari duduknya, pandangannya kesana-kemari mencari sosok sang kekasih. “Emang dah nikah bang?” Saut Hendri dari warung sebelah kanan. “Dalam proses” Jawab Jefrian. Padahal keduanya belum saling kenal, tapi begitulah sifat alami Hendri si social butterfly. Hendri hanya berdeham menanggapi lalu tersadar—

“Lah? Lukas mana?!?”


“Di panggil bang jef sebentar, kamu ngetrail aja dulu bareng calon kakak ipar, nanti Bara ke sini lagi”

“Tumben banget kalian mau ngobrol?” Bintang merasa curiga dengan abangnya yang tiba-tiba ingin berbincang dengan Bara. Biasanya kan tidak pernah akur.

“Gapapa aman, Bara sabuk hitam. Have fun babe!” Tanpa menunggu balasan Bintang, Bara langsung berlari menjauhi area trail menuju warung dekat prakiran dimana kedua abangnya dan juga Hendri sedang duduk santai sambil minum es. . . .

To be continued- . . .

-Zhi


image


“Star” Si pemilik nama terkejut bukan main, bukan karena namanya yang disebut. Melainkan karena pelukan yang tiba-tiba ia dapatkan dari kekasihnya. Wajahnya memanas, sudah pasti merah seperti kepiting rebus. Malu sekali. Rasanya Bintang ingin menenggelamkan wajahnya di dekapan Bara agar tidak ada yang melihat.

Bara mengeratkan pelukannya, membiarkan Bintang menenggelamkan wajah di depan dada nya. “Kenapa?” Bara memulai percakapan.

“Apanya?” Jawab Bintang. Suaranya samar namun tetap terdengar jelas ditelinga Bara. “Kenapa tadi lari, hmm?” Bara mengecup singkat pucuk kepala sang gadis untuk menenangkannya.

“Kaget” Jawab Bintang tanpa melepaskan pelukannya. “Hah? Kaget kenapa?” Bara terkekeh pelan mendengar jawaban Bintang yang dia anggap menggemaskan. Bintang melepas pelukan di antara mereka, membiarkan kedua pasang Netra saling bertemu untuk menyapa.

“Kamu beda banget” Bintang menelisik penampilan Bara dari ujung kepala hingga ujung kaki yang hari itu benar-benar terlihat berbeda. Biasanya Bara berpenampilan casual dan cenderung terkesan lembut. Namun kali ini, Bara mengenakan black leather biker jacket dengan black T-shirt dibaliknya, dipadukan dengan black jeans dan sepatu coklat mengkilap untuk bawahannya. Belum lagi ia membayangkan bagaimana jadinya jika Bara mengendarai motor dengan penampilan seperti itu. Sudah. Cukup. Membayangkannya saja sudah membuat Bintang pusing.

“Beda dalam artian apanih?” Alis Bara terangkat sebelah menuntut penjelasan. “Pake tanya. Gak sanggup aku. Mau rebahan aja di kamar. Bye.” Bintang mengibaskan tangan kanannya, menepis udara kosong sambil melangkah hendak meninggalkan halaman samping rumahnya. Namun lengan kiri Bintang berhasil Bara tahan.

Bara memiringkan kepalanya sedikit sambil tersenyum mengejek “Main kabur aja. Katanya kangen?” Godaan apalagi ini.

“Ssstt!” Bintang mempelkan jari telunjuk di depan bibirnya sendiri mengisyaratkan agar sang lawan bicara diam. Namun tentu saja Bara tidak akan diam dan tetap berusaha menggoda sang kekasih. Bara menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku calana yang ia kenakan. Senyum mengejek masih terpasang di wajahnya, membuat gadis di hadapannya memasang ekspresi kesal dengan pipi yang merona. Bara tau Bintang sedang tersipu malu, karena itu ia terus menggodanya.

“Kangen, kan? Iya tau. Kan sehati.” Ucapan Bara berhasil meledakkan hati Bintang hingga tak sanggup ia tahan. Melihat Bintang yang hampir menangis, Bara berjalan mendekat sambil mengeluarkan kembali tangannya dari dalam saku celana hendak memeluk sang kekasih namun naas gerakannya harus terhenti saat kepala Bara terhantam sebuah kunci motor entah siapa pelakunya.

“Oi.” Ah pasti kalian bisa menebak siapa pemilik suara ini.

“Bubar lo berdua. Ini bukan serial teletubbies, gak ada peluk-pelukan.” Jefrian menarik sang adik dari hadapan Bara, membawanya ke tempat dimana motornya terparkir. “Bawain kunci motor gue.” Perintah Jefrian pada Bara. “Ck.” Bara mendecak kesal. Namun entah kenapa tetap ia lakukan. . . .

To be continued- . . .

-Zhi


image


“Bara. Jawab. Kenapa malah diem?” Bintang yang merasa diacuhkan sedari tadi mulai tak bisa menahan emosinya. Tangan Bintang mengguncang bahu Bara hingga sang empunya tersentak dari lamunannya.

“Bara, kenapa kamu diem aja? Aku cuma minta kejelasan dari kamu apa susahnya sih? Ini menyangkut hubungan kita. Kamu gak mau mertahanin hubungan ini? Iya? Kamu mau kita pu—”

“Bintang.” Bara bangkit dari posisi duduknya. Suaranya terdengar gemetar, Bara berusaha untuk bersuara seolah ia baik-baik saja.

“Ayo, Bara anter pulang” Ditariknya lengan sang gadis menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berbincang. Sang gadis hanya diam mengikuti, tak menyangka bahwa kekasihnya akan seperti ini. . . . Mobil hitam itu kembali melaju membelah jalanan kota Jakarta. Sunyi menyelimuti keduanya di sepanjang perjalanan, hanya terdengar suara mesin mobil yang berpadu dengan merdunya gerimis.

Entah sejak kapan mereka telah sampai pada halaman depan hunian milik Bintang. Pandangannya lurus ke depan, menatap kaca depan mobil yang sedikit basah akibat gerimis yang mengguyur malam. “Sampai sini gak ada yang mau kamu jelasin? Bintang melempar pertanyaan sengit pada lawan bicara. 1 menit berlalu dan masih tidak ada jawaban, Bintang memutuskan untuk melepas sabuk pengaman dan beranjak keluar dari mobil. Tangan-nya membuka knop pintu mobil hingga disambut oleh dinginnya angin malam. Bintang benar-benar muak hingga ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, namun langkahnya tertahan seolah tak rela untuk pergi saat itu juga.

“Bara, kamu serius mau tetap diam?! Hhhh” Bintang menghela napas kasar. Tidak ada jawaban, yang ditanya hanya menatap lurus ke depan tanpa melihat kekasihnya sedikit pun.

“FINE! Kalo emang mau kamu kaya gini, kita selesai.” Tegas Bintang.

BRAK! Suara pintu mobil tertutup nyaring bersama emosi yang menguar di antara sepasang kekasih itu— ralat, mantan kekasih.

. . .

To be continued- . . .

-Zhi


image


“Bara?” Suara Bintang dari arah koridor berhasil mengejutkan si pemilik nama. “Ya? Emm Star? Dari kapan di situ?” Bara bangkit dari kursi tempat ia duduk tadi dan berjalan perlahan ke tempat Bintang berdiri. Netranya terlihat gemetar pertanda sang empunya sedang gelisah. Bintang tau persis apa yang sedang Bara khawatirkan.

“Lihat apa tadi? Serius banget?” Satu pertanyaan terlontar dari mulut Bintang berhasil membuat sekujur tubuh Bara kaku. Bara menarik nafas dan membuangnya kembali dengan samar. “Bukan apa-apa” Satu jawaban lolos dari mulut Bara, membuat si penanya tertawa kesal.

“Hahahahaa! Ya ampun Bara... Mau sampai kapan kamu nyembunyiin hal ini? Hmm?” Merasa suasana mulai memburuk, Bara menarik lengan Bintang, membawanya keluar dari lobby kantor tersebut. “Aku bakal jelasin semuanya, tapi bukan di sini.”

. . . .

Mobil hitam itu melaju membelah jalanan kota Jakarta hingga berhenti pada area parkir taman kota. “Hhhhhh” Hembusan nafas sang pengendara mobil mengawali suasana serius ini. Bintang melepas sabuk pengaman pada tubuhnya, melangkah keluar dari mobil dengan bara yang mengekor di belakang menuju bangku taman yang kala itu tidak terlihat pengunjung lain selain mereka berdua.

“Star...” Di ambilnya kedua telapak tangan itu ke dalam genggaman seraya mengusap lembut punggung tangan sang empunya. “Kita bahas ini pelan-pelan ya? Hmm?” Sepasang Netra itu menatap lembut pada lawan bicara, sepasang yang lain enggan untuk melakukan kontak mata.

“Star... Lihat mata Bara” Di sentuhnya lembut pipi sang gadis, mengarahkannya agar saling melihat satu sama lain. “Boleh Bara tau penyebab Star marah?” Tidak ingin memperkeruh suasana, Bara bertanya dengan penuh kehati-hatian.

“Hhh. Langsung aja.” Bintang menarik kedua tangannya dari genggaman Bara, mengarahkannya pada tas yang ia bawa dan mengambil handphone dari dalam sana.

“Lihat ini. Coba jelasin.” Bara reflek membulatkan mata saat melihat foto pada layar HP sang gadis. “Hmm, Star... Itu bara cuma scroll website motor aja, ada masalah?” Bintang kembali menarik hp nya, mengusap layar dan kembali ia tunjukkan pada sang lawan bicara. “S-star?? Kamu dapat dari mana foto ini?” Jawab Bara gugup.

“Kenapa? Kaget ya? Aku lihat dengan mata kepala-ku sendiri. Arena 1 jam 4 sore. Kamu, Julian Al Bara, tertangkap kamera sebagai seorang pembalap.” Bagai tersambar petir, sekujur tubuh dibuat kaku tak berdaya, hanya satu hal yang terlintas di kepala. Bintang. Entah bagaimana nasib hubungan mereka selanjutnya.

image

. . . To be continued- . . . -Zhi


image

***(beberapa saat kemudian)

. . .

“Bara? Kenapa gak bilang dulu kalo mau ke rumah?” Bintang masih terkejut, karena sekarang Bara sedang berdiri di depan pintu sambil tersenyum menyaksikan omelannya.

“Taddaaa” Bara menyodorkan sebuah kotak berwarna coklat dengan ceria. Sedangkan sang gadis hanya tersenyum kebingungan. “Martabak hehe” “Hhhhh. Hampir tengah malam dan kamu nekad ke rumah cuma buat ngasih martabak? kan masih bisa besok, Bara” Bintang setengah frustasi. “Martabak cuma alasan ajasi” Jawab Bara santai dengan bahu yang bergerak naik. “Alasan gima-” “Kangen” Bara memotong kalimat Bintang dengan suara yang rendah dan lembut. Lawan bicara nya hanya bisa mematung.

***

“HAH?!!!” Bintang terkejut bukan main dengan ucapan Bara 1 detik yang lalu. “Kenapa baru bilang?” Bintang sedikit kesal. “Rencananya 5 hari lagi, ternyata di percepat jadi lusa” Bara memasang ekspresi sedih.

Bara menarik lembut kedua tangan Bintang lalu diusapnya punggung tangan mungil itu. “1 bulan, gakpapa?” Ya, Bara sebagai mahasiswa teknik tingkat akhir, akan memulai magang nya lusa nanti selama 1 bulan di luar kota. Walau mereka sudah berpengalaman soal LDR, tapi tetap saja sedih saat harus berjauhan.

Bintang mendekatkan posisi duduknya. Seolah mengerti maksud sang kekasih, Bara langsung mendekap Bintang ke dalam pelukannya sambil sesekali mengusap lembut kepala sang gadis.

“Star?” Panggil Bara tanpa melepaskan pelukannya. “Hm?” Jawab bintang, pelan. “Walaupun jauh, Bara tetep berusaha buat jagain kamu” “Star gak akan kenapa-kenapa, Baraaa. Bara yang harus jaga diri ya di sana? Soalnya Star nunggu Bara pulang di sini” Ya tuhan, Bintang asal kau tahu isi kepala dan hati Bara kini sudah kacau di buatmu. Di kecupnya pucuk kepala sang gadis, sebagai ungkapan rasa sayangnya yang tulus.

'Jangan berpaling dari gue. Cukup lihat gue dan tunggu gue pulang. Karna sampai kapanpun, cuma lo satu-satunya rumah gue.' batin Bara.

. . .

To be continued-

. . .

-Zhi


image

. . .

“Bara? muka kamu-” “Bara gak kenapa-kenapa, Star” Bintang berjalan dengan wajah panik melihat Bara terluka sampai tak sadar bahwa suaranya yang keras menjadikannya bahan tontonan menarik orang-orang sekitar. Syukurlah Bara langsung menenangkan gadisnya itu.

“Muka kamu?! Tangan kamu juga?!” Bintang menarik lembut tangan Bara yang diperban dengan wajah yang khawatir.

“Bara, kamu habis ngapain sih??? Kok bisa sampai diperban gini?!” Bara tersenyum melihat Bintang mengkhawatirkan dirinya.

“Bara! jawab dong kok malah senyum-senyum?!” Bintang mulai mendengus kesal. Bintang yang sedang kesal malah terlihat menggemaskan dimata Bara. “Gemes.” Ujar Bara sambil mencubit pipi kanan Bintang dengan tangan kirinya yang terbebas.

“Ih? Liat tuh pipinya merah kaya kepiting rebus ahahaa” Bara tertawa lembut melihat Bintang yang salah tingkah dibuat nya.

“Ish apaan sih masa disamain sama kepiting rebus?! Gak banget.” Bintang cemberut salah tingkah, kemudian melepaskan genggaman tangannya pada tangan kanan Bara yang terluka.

“Ih? Kok cemberut? Nih liat pipi kamu jadi gembul kalo cemberut.” Bara menunjukan cermin di hadapan Bintang hingga Bintang bisa melihat pantulan wajahnya yang memang sedang blushing. 'Apa-apaan gue malu banget please' Batin Bintang.

“Apaan sih Bara! Awasin.” Bintang menepis pelan cermin di hadapannya. “Lagian itu cermin siapa deh? Cermin kamu? Tumben banget?” “Ahahaa bukan, bukan punya Bara. Ini punya Lukas” Bara tertawa ngasal.

“Heh! heh! main pake nama orang aja lu! Mana ada gue bawa cermin begitu.” Sang pemilik nama protes.

“Loh terus punya siapa?” Tanya Bintang kebingungan. Bara mengusap surai coklat tua di hadapannya lembut sambil tertawa pelan “Ahahaa gak tau, nemu di ujung sana” Bara mengakat dagu ke arah ujung lapangan tempat mereka berada.

“Oooh ya terus kenapa malah bahas kaca sih? Pertanyaan aku belum kamu jawab loh ya.” “Kan kamu yang mulai? Bara cuma jawab.” Bara dengan sengaja menyentuh hidung Bintang dengan jari telunjuknya. Tak terima karena terlalu malu, Bintang mendorong pelan Bara agar menjauh darinya dan berbalik berniat pergi dari tempat itu.

“Star, mau kemana?” Bara mengejar Bintang sambil memasang wajah sedih, seperti anak kecil yang ditinggal ibu nya. “Pulang.” Jawab Bintang ketus. “Bara anter ya?” Langkah kecil Bintang kalah cepat dengan Bara, Bara menahan tangan kanan Bintang agar tidak meninggalkannya.

“Pulang sama Bara ya? Mau ya? Yaa?” Bara memasang wajah memohonnya, sudah pasti Bintang kacau karena terlalu gemas saat ini. “Yaudah iya. Stop pasang muka kaya gitu! Nyebelin tau gak.” “Nyebelin atau gemesin? hm?” Bara mendekatkan wajah mereka berdua untuk menggoda Bintang, lagi.

“Diem atau gue kayang di tengah lapangan?!” Bintang mundur menjauhkan wajahnya. “Emang berani?” “Heheeee” “Tuhkan... Ayo pulang, udah mulai gelap nanti Star dicariin bang jef bahaya.” Bara merangkul Bintang dengan tangan kirinya menuju parkiran mobil untuk pulang. “Iyaaa.”

“Bara belum jawab pertanyaan Star tadi loh ya.” Bintang mengingatkan. 'Mampus gue' batin Bara.

. . .

To be continued-

. . .

-Zhi