Zhimphony

Distrik L | 01:47 p.m.

KLINING Lonceng pintu masuk berbunyi kala tiga insan memasuki toko buku merah.

Sambutan hangat para pegawai menyambut kedatangan mereka. Rendy menunjukan isi pesan dalam ponselnya kepada pegawai yang bertugas dan kemudian mereka diantar menuju area yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Basement.

Langkah kaki meninggalkan bunyi pada tangga kayu yang dipijak. Hingga langkah mereka terhenti pada ujung tangga, tepat di hadapan pintu berwarna coklat tua bermotif mawar.

TOK TOK Sang petugas mengetuk pintu terlebih dahulu, meminta izin masuk. Lalu beranjak memasuki ruangan setelah mendapat izin dari pemilik ruangan.

KRIIEETT Pintu terbuka, menampakkan sosok pria dewasa berambut pirang, dengan setelan jas mewahnya bangkit dari duduk menyambut kedatangan tiga anak muda yang mencarinya.

“Selamat datang, silahkan duduk dan ceritakan maksud tujuan kalian kesini.” Terkesan dingin. Namun ini baru kesan pertama, entah bagaimana nanti.

Distrik G | 01:05 p.m.

TIIIN!!

Suara klakson mobil berhasil manarik atensi seorang gadis yang sedang duduk; menunggu jemputan di bangku taman asrama putri. Itu mobil Rendy, sudah jelas karena berwarna kuning dan ia sudah hafal dengan plat nomor mobilnya. Kaca jendela mobil turun atas kehendak sang pengemudi. Kiera berani mengakui bahwa dirinya benar-benar gugup dan sangat berdebar saat melihat seseorang di dalam sana. Awalnya Rendy menyembulkan kepala dari jendela mobil, namun setelahnya muncul sosok yang selama ini menghantui pikiran Kiera. Nathan. Laki-laki leo itu tersenyum penuh arti menatap gadis yang menatapnya balik sama penuh arti.

Tanpa basa-basi, Kiera melangkah masuk dan duduk pada kursi penumpang.

“Sudah makan?” Itu kalimat pertama yang Nathan ucapkan pada Kiera setelah sekian lama mereka hilang kontak.

“Ah, sudah tadi. Nana udah makan?” Tanya Kiera balik.

“Belum, niatnya aku mau makan bersamamu.”

DEG!

(upload sambat)

“Gue gak ditanya nih?” Ujar Rendy.

“Cih. Emang lo belum makan?” Tanya Kiera.

“Belum lah, orang nungguin lo.” Jawab Rendy. Nathan reflek menoleh pada Rendy dengan tatapan menuntut penjelasan.

Distrik G | 01:05 p.m.

TIIIN!!

Suara klakson mobil berhasil manarik atensi seorang gadis yang sedang duduk menunggu jemputan di bangku taman asrama putri. Itu mobil Rendy, sudah jelas karena berwarna kuning dan ia sudah hafal dengan plat nomor mobilnya. Kaca jendela mobil turun atas kehendak sang pengemudi. Kiera berani mengakui bahwa dirinya benar-benar gugup dan sangat berdebar saat melihat seseorang di dalam sana. Awalnya Rendy menyembulkan kepala dari jendela mobil, namun setelahnya muncul sosok yang selama ini menghantui pikiran Kiera. Nathan. Laki-laki leo itu tersenyum penuh arti menatap gadis yang menatapnya balik sama penuh arti.

Tanpa basa-basi, Kiera melangkah masuk dan duduk pada kursi penumpang.

“Sudah makan?” Itu kalimat pertama yang Nathan ucapkan pada Kiera setelah sekian lama mereka hilang kontak.

“Ah, sudah tadi. Nana udah makan?” Tanya Kiera balik.

“Belum, niatnya aku mau makan bersamamu.”

DEG!

(upload sambat)

“Gue gak ditanya nih?” Ujar Rendy.

“Cih. Emang lo belum makan?” Tanya Kiera.

“Belum lah, orang nungguin lo.” Jawab Rendy. Nathan reflek menoleh pada Rendy dengan tatapan menuntut penjelasan.

Klang!

“Tanganmu masih gemetar, Rendy?”

Atensi Rendy berpindah dari Nathan menuju sumber suara pada sisi kanan ruangan. Dokter Darren. Dengan jas putih khas ala Dokter pada umumnya, tangan Dokter Darren sibuk menata rapih alat medisnya. Rendy kembali tersadar, ia baru saja melakukan Hypnotherapy. Tak disangka banyak sekali bermunculan puzzle pieces yang berhamburan. Masih buram, namun suara batinnya dalam air terdengar dan teringat sangat jelas. Benar saja jika tagannya ikut bergetar seiring ingatannya bermunculan.

“Bagaimana keadaan Nathan, nak?”

“Tidak gemetar. Hanya saja, o? kau menangis?”

Nathan yang sadar dirinya sedang diperhatikan, membuang muka sambil mengusap kasar air yang turun pada kelopak matanya. Ia begitu emosional kali ini. Bagaimana tidak, barusan ia mendengar suara yang sudah ia lupakan bertahun-tahun lamanya. Wajahnya tidak jelas, namun suaranya berhasil meremat hati sang empunya.

“Kakak, maaf aku melupakanmu.” Batinnya menyesal. Nathan mengidap amnesia sejak tragedi itu. Tidak permanen, namun cukup parah hingga ia melupakan kejadian tragis tersebut beserta orang di dalamnya. Jika ingin mencari siapa saja pelakunya, maka Rendy yang bisa membantunya.

“Jangan terlalu memaksakan diri, let it flow. Ingatan kalian akan berangsur-angsur muncul seiring berjalannya waktu.” Ujar sang Dokter.

“Ah saya lupa, Teressa unit nomor berapa ya?” Pertanyaan sang Dokter berhasil menarik atensi ke-tiga laki-laki di sana. Dua diantaranya mengernyit heran, mengapa ia mencari Teressa? ada hubungan apa ia dengannya?. Satu yang lainnya terlihat biasa saja, justru jawaban terakhir dari dirinya berhasil mengejutkan dua laki-laki tersebut.

“Kamar nomor 027.”

“Oh iya. Kalau begitu, mereka berdua aku serahkan padamu, Jeremmy. Aku akan menemui putri kecilku dulu.”

“Baik, Ayah.”

Klang!

“Tanganmu masih bergetar, Rendy?”

Atensi Rendy berpindah dari Nathan menuju sumber suara pada sisi kanan ruangan. Dokter Darren. Dengan jas putih khas ala Dokter pada umumnya, tangan Dokter Darren sibuk menata rapih alat medisnya. Rendy kembali tersadar, ia baru saja melakukan Hypnotherapy. Tak disangka banyak sekali bermunculan puzzle pieces yang berhamburan. Masih buram, namun suara batinnya dalam air terdengar dan teringat sangat jelas. Benar saja jika tagannya ikut bergetar seiring ingatannya bermunculan.

“Bagaimana keadaan Nathan, nak?”

“Tidak gemetar. Hanya saja, o? kau menangis?”

Nathan yang sadar dirinya sedang diperhatikan, membuang muka sambil mengusap kasar air yang turun pada kelopak matanya. Ia begitu emosional kali ini. Bagaimana tidak, barusan ia mendengar suara yang sudah ia lupakan bertahun-tahun lamanya. Wajahnya tidak jelas, namun suaranya berhasil meremat hati sang empunya.

“Kakak, maaf aku melupakanmu.” Batinnya menyesal. Nathan mengidap amnesia sejak tragedi itu. Tidak permanen, namun cukup parah hingga ia melupakan kejadian tragis tersebut beserta orang di dalamnya. Jika ingin mencari siapa saja pelakunya, maka Rendy yang bisa membantunya.

“Jangan terlalu memaksakan diri, let it flow. Ingatan kalian akan berangsur-angsur muncul seiring berjalannya waktu.” Ujar sang Dokter.

“Ah saya lupa, Teressa unit nomor berapa ya?” Pertanyaan sang Dokter berhasil menarik atensi ke-tiga laki-laki di sana. Dua diantaranya mengernyit heran, mengapa ia mencari Teressa? ada hubungan apa ia dengannya?. Satu yang lainnya terlihat biasa saja, justru jawaban terakhir dari dirinya berhasil mengejutkan dua laki-laki tersebut.

“Kamar nomor 027.”

“Oh iya. Kalau begitu, mereka berdua aku serahkan padamu, Jeremmy. Aku akan menemui putri kecilku dulu.”

“Baik, Ayah.”

Klang “Tanganmu masih bergetar, Rendy?”

Atensi Rendy berpindah dari Nathan menuju sumber suara pada sisi kanan ruangan. Dokter Darren. Dengan jas putih khas ala Dokter pada umumnya, tangan Dokter Darren sibuk menata rapih alat medisnya. Rendy kembali tersadar, ia baru saja melakukan Hypnotherapy. Tak disangka banyak sekali bermunculan puzzle pieces yang berhamburan. Masih buram, namun suara batinnya dalam air terdengar dan teringat sangat jelas. Benar saja jika tagannya ikut bergetar seiring ingatannya bermunculan.

“Bagaimana keadaan Nathan, nak?”

“Tidak gemetar. Hanya saja, o? kau menangis?”

Nathan yang sadar dirinya sedang diperhatikan, membuang muka sambil mengusap kasar air yang turun pada kelopak matanya. Ia begitu emosional kali ini. Bagaimana tidak, barusan ia mendengar suara yang sudah ia lupakan bertahun-tahun lamanya. Wajahnya tidak jelas, namun suaranya berhasil meremat hati sang empunya.

“Kakak, maaf aku melupakanmu.” Batinnya menyesal. Nathan mengidap amnesia sejak tragedi itu. Tidak permanen, namun cukup parah hingga ia melupakan kejadian tragis tersebut beserta orang di dalamnya. Jika ingin mencari siapa saja pelakunya, maka Rendy yang bisa membantunya.

“Jangan terlalu memaksakan diri, let it flow. Ingatan kalian akan berangsur-angsur muncul seiring berjalannya waktu.” Ujar sang Dokter.

“Ah saya lupa, Teressa unit nomor berapa ya?” Pertanyaan sang Dokter berhasil menarik atensi ke-tiga laki-laki di sana. Dua diantaranya mengernyit heran, mengapa ia mencari Teressa? ada hubungan apa ia dengannya?. Satu yang lainnya terlihat biasa saja, justru jawaban terakhir dari dirinya berhasil mengejutkan dua laki-laki tersebut.

“Kamar nomor 027.”

“Oh iya. Kalau begitu, mereka berdua aku serahkan padamu, Jeremmy. Aku akan menemui putri kecilku dulu.”

“Baik, Ayah.”

Rendy's POV Room 007 | 3:25 p.m.

“Aku mengikuti badut kelinci, lucu sekali hihihiii.”

“Tadi ada gadis cantik yang dimarahi bibi itu.”

“Tidak. Aku mau yang warna kuning.”

“Selera kita sama. Kalau suatu hari kita sama-sama menyukai suatu hal, apa kau akan mengalah padaku seperti saat ini?”

“Janji?”

“Toko paman sedang ada ice cream gratis.”

“Rendy, paman ini mencurigakan.”

“Berani-beraninya kau mengikat kami!”

“Kau jahat! Raja akan menghukummu.”

“Rendy, jangan lepas genggamanmu dari Nathan.”

“BERHENTI KALIAN!!!”

“Ikuti perintahku.”

“Berenang dan bertahanlah.”

DOR!!!

BRUK!

“Kakak! Kau berdarah.”

“Rendy, ini perintah terakhirku.”

“JUMP!”

“Rendy, aku titip—dua sahabatku.”

“R-Rendy.”

“Berjanjilah.”

“Jaga Nathan untukku.”

“KAKAK!!”

BYUR!!!

Mama.

Gelap.

Dingin, Maa.

Nathan, tenggelam.

Teman, pegang tanganku.

Ukhh. Sakit sekali.

Bertahanlah, ada aku di sini, bertahanlah sedikit lagi.

Seseorang, kumohon tolong kami.

Pangeran, bertahanlah.

Gelap menemukan terang, embun sejuk menerpa wajah.

“Rendy? Rendy?”

Tik Tok Tik Tok

“Rendy, you woke up?” Sayup terdengar suara seseorang.

“Ukkhhh.” Rendy melenguh pelan, pertanda kesadarannya telah tiba.

Matanya mengerjap, beradaptasi pada cahaya remang kamar 007.

Netra legam milik Rendy membulat sempurna, menatap sosok familiar di hadapannya. Semesta menarik kembali kisah yang terpendam.

“Selamat datang kembali, teman.” Ujar Nathan.

Rendy's POV Room 007 | 3:25 p.m.

“Aku mengikuti badut kelinci, lucu sekali hihihiii.”

“Tadi ada gadis cantik yang dimarahi bibi itu.”

“Tidak. Aku mau yang warna kuning.”

“Selera kita sama. Kalau suatu hari kita sama-sama menyukai suatu hal, apa kau akan mengalah padaku seperti saat ini?”

“Janji?.”

“Toko paman sedang ada ice cream gratis.”

“Rendy, paman ini mencurigakan.”

“Berani-beraninya kau mengikat kami!”

“Kau jahat! Raja akan menghukummu.”

“Rendy, jangan lepas genggamanmu dari Nathan.”

“BERHENTI KALIAN!!!”

“Ikuti perintahku.”

“Berenang dan bertahanlah.”

DOR!!!

BRUK!

“Kakak! Kau berdarah.”

“Rendy, ini perintah terakhirku.”

“JUMP!”

“Rendy, aku titip—dua sahabatku.”

“R-Rendy.”

“Berjanjilah.”

“Jaga Nathan untukku.”

“KAKAK!!”

BYUR!!!

Mama.

Gelap.

Dingin, Maa.

Nathan, tenggelam.

Teman, pegang tanganku.

Ukhh. Sakit sekali.

Bertahanlah, ada aku di sini, bertahanlah sedikit lagi.

Seseorang, kumohon tolong kami.

Pangeran, bertahanlah.

Gelap menemukan terang, embun sejuk menerpa wajah.

“Rendy? Rendy?”

Tik Tok Tik Tok

“Rendy, you woke up?” Sayup terdengar suara seseorang.

“Ukkhhh.” Rendy melenguh pelan, pertanda kesadarannya telah tiba.

Matanya mengerjap, beradaptasi pada cahaya remang kamar 007.

Netra legam milik Rendy membulat sempurna, menatap sosok familiar di hadapannya. Semesta menarik kembali kisah yang terpendam.

“Selamat datang kembali, teman.” Ujar Nathan.

Rendy's POV Room 007 | 3:25 p.m.

“Aku mengikuti badut kelinci, lucu sekali hihihiii.”

“Tadi ada gadis cantik yang dimarahi bibi itu.”

“Tidak. Aku mau yang warna kuning.”

“Selera kita sama. Kalau suatu hari kita sama-sama menyukai suatu hal, apa kau akan mengalah padaku seperti saat ini?”

“Janji?.”

“Toko paman sedang ada ice cream gratis.”

“Rendy, paman ini mencurigakan.”

“Berani-beraninya kau mengikat kami!”

“Kau jahat! Raja akan menghukummu.”

“Rendy, jangan lepas genggamanmu dari Nathan.”

“BERHENTI KALIAN!!!”

“Ikuti perintahku.”

“Berenang dan bertahanlah.”

DOR!!!

BRUK!

“Kakak! Kau berdarah.”

“Rendy, ini perintah terakhirku.”

“JUMP!”

“Rendy, aku titip—dua sahabatku.”

“R-Rendy.”

“Berjanjilah.”

“Jaga Nathan untukku.”

“KAKAK!!”

BYUR!!!

'Mama.'

'Gelap.'

'Dingin, Maa.'

'Nathan, tenggelam.'

'Teman, pegang tanganku.'

'Ukhh. Sakit sekali.'

'Bertahanlah, ada aku di sini, bertahanlah sedikit lagi.'

'Seseorang, kumohon tolong kami.'

'Pangeran, bertahanlah.'

Gelap menemukan terang, embun sejuk menerpa wajah.

“Rendy? Rendy?”

Tik Tok Tik Tok

“Rendy, you woke up?” Sayup terdengar suara seseorang.

“Ukkhhh.” Rendy melenguh pelan, pertanda kesadarannya telah tiba.

Matanya mengerjap, beradaptasi pada cahaya remang kamar 007.

Netra legam milik Rendy membulat sempurna, menatap sosok familiar di hadapannya. Semesta menarik kembali kisah yang terpendam.

“Selamat datang kembali, teman.” Ujar Nathan.

Nathan's POV Room 007 | 3:25 p.m.

“Hei anak kecil, pergi kau dari sini.”

“Ini bukan tepat untukmu, cepat pergi!”

“Nona, ayo kita pergi dari sini.”

“Kenapa mereka marah padaku?”

“Kalian berdua cepat tinggalkan tempat ini!”

“Nathan kamu dari mana sih? aku berhasil dapat balonnya nih.”

“Karena kamu pangeran, aku akan mengalah.”

“Janji.”

“Paman siapa?”

“Buatku saja, Nathan tidak suka rasa strawberry.”

“Paman, tempatnya kenapa jauh sekali?”

“Kenapa kami diikat?!”

“PAMAN JAHAT!! TOLONG!! TO—HMPH.”

“Sssttt!!”

“Jangan berisik, aku akan melepaskan kalian.”

BRAK!!!

“TANGKAP MEREKA!!!”

“Ayahmu seharusnya turun tahta. Istri dan anakku pergi karenanya.”

“PANGERAN!!!”

“RUN!!!”

“Rendy, kau bisa berenang?”

“PANGERAN JA—”

“Nathan, jadilah raja yang baik—”

“Kakak menyayangimu.”