Zhimphony

Golden Univ Street (12:30 p.m)

image


Satu, dua, puluhan langkah menjadi saksi perjalanan Pangeran, dan Putri malam itu. Menyusuri jalanan kota menuju rumah kedua bagi sang Putri. Hanya desing mesin mobil dan suara air pada langkah mereka yang memijak jalanan basah akibat gerimis dini hari itu.

“Ra?”

“Iya?”

“Kalau Kakak masih ada, mungkin kalian sudah bertunangan.”

“Kenapa tiba-tiba bilang gitu?”

“Aku jadi kepikiran. Kalau kamu tunangan Kakak, aku pasti sedih. Karena aku jatuh hati, jauh sebelum tau status kamu.”

Perempuan itu hanya terdiam.

“Rasanya pasti frustasi, saat melihat orang yang kamu dambakan bersanding bersama orang lain. Terlebih saat kamu ga bisa berbuat apapun untuk merubah takdir.”

“Bukankah takdir bisa dirubah?”

“Bisa. Hanya bisa terjadi saat orang itu berusaha. Tapi apa kamu tau, Princess? Ada hal mutlak di semesta ini yang tidak bisa kamu patahkan begitu saja.”

“Apa itu?”

“Kematian, benang merah, dan janji.”

“Janji juga termasuk?”

“Sama hal nya sumpah, janji itu sakral dan harus ditepati. Karena ada kepercayaan di dalamnya.”

“Jadi, kita ga boleh sembarangan membuat janji? Begitu?”

Sang pangeran terdiam. Entahlah, batinnya bagai disambar petir pada jalanan buntu. Nathan mengangguk. Tak terasa, kini mereka telah sampai pada tujuan, tepat di depan pintu masuk asrama putri yang bentuknya menyerupai apartemen. Karena telah dianggap dewasa, para Mahasiswa/i dibebaskan untuk keluar masuk pada pukul berapa-pun. Kecuali saat ada jadwal pemeriksaan bulanan dimana setiap kamar akan diperiksa satu persatu demi keamanan berupa tidak adanya mahasiswa yang menyembunyikan obat-obatan terlarang atau narkotika.

Nathan mengubah arah tubuhnya hingga saling berhadapan dengan sang Putri. Ia mengusap lembut pucuk kepala Kiera seraya tersenyum manis.

“Kedepannya aku bakalan sibuk dan sulit dihubungi. Aku harap kamu ga kepikiran soal itu.”

“Ah... Tugas itu ya? Aku ngerti kok, Na.” Sang Putri tersenyum.

“Kamu juga persiapkan diri. Waktunya ga akan lama lagi.” Ucap Nathan dibalas anggukan dari Kiera.

“Sekarang masuk, cuci kaki, cuci tangan, sikat gigi, cuci muka, pakai skincare lalu tidur. Jangan buka twitter, oke?”

“Hahahaa iya iya, kamu juga hati-hati di perjalanan, ya? Sampai di dorm lakuin apa yang kamu bilang tadi. Tapi kabarin aku dulu kalau kamu udah sampai atau aku gaakan bisa tidur.”

Sang Pangeran terkekeh.

“Princess, aku ga tau kamu ngelakuin ini atas dasar hati kamu sendiri atau bukan. Tapi aku bersyukur bisa dapat perhatian dari kamu.”

Kiera terdiam.

“K-kalau gitu aku masuk dulu ya? Kamu hati-hati di jalan.”

“Iya, jangan lupa mimpiin aku ya!”

“Engga mau wlee!” Kiera berbalik dan melangkah masuk melewati pintu yang berputar.

Keduanya mengakhiri hari bersama tersebut dengan tawa dan keusilan satu sama lain. Hingga sosok sang Putri lenyap di balik pintu, Nathan berbalik dan beranjak pergi dari tempat itu. Namun pada detik ke lima, langkahnya sempat terhenti saat maniknya menangkap sosok yang familiar berdiri di bawah lampu seberang jalan sana. Namun belum sempat ia sapa, sosok itu berlari bagai dikejar waktu. Ia sempat berpikir untuk mengejar, namun logikanya mengatakan bahwa hal itu hanyalah halusinasi belaka.

Nathan mengibaskan tangan di hadapan wajahnya. “Ah ga mungkin. Mending gue pulang terus tidur.” Ucapnya.

Golden Cafe — 11:50 p.m Tw : kiss harap bijak dalam membaca.

image


“Na maaf, harusnya aku ga upload di main account.”

“Sssstt! Ga perlu minta maaf. Sini duduk.”

Kini mereka berdua duduk pada sebuah bangku kafe bagian outdoor. Kafe ini menyajikan dessert yang lezat juga pemandangannya yang tak kalah nikmat untuk dipandang. Cahaya redup dari lampu yang berjajar memberikan kesan hangat bagi penikmatnya. Ditambah alunan musik klasik yang kala itu diputar, menambah kesan romantis pada kafe yang hanya buka pada malam hari, tepatnya pada pukul tujuh malam hingga tiga pagi. Pengunjung disini biasanya datang dari kalangan muda seperti Nathan dan Kiera, namun tak jarang pula kedatangan pengunjung yang sudah berumur.

“Kenapa ngeliatin aja? Udah suka?”

Kiera mengerjap, panik saat dirinya tertangkap basah sedang menatap Nathan dari sisi kanan. Iya, kini mereka duduk bersebelahan dengan posisi Nathan di sebelah kiri dan Kiera di sebelah kanan. Mereka memilih tempat duduk yang panjang agar tidak bersebrangan. Alasannya satu, Nathan ingin merangkul Kiera.

“S-siapa juga sih yang ngeliatin.”

“Nih, liat pipi kamu makin merah.”

Kiera menatap layar ponsel milik Nathan yang menampilkan fitur kamera depan.

“Ini tuh namanya blush on! Bluuuuush ooooon!”

“Cih. Bukannya dua hari lalu kamu ngomel karna blush on dan mascara kamu habis? Aku tau kamu pasti belum sempat beli.”

“Sial inimah udah jatuh, ketimpa tangga pula.” Batin Kiera malu.

“Kok diem? Kenapa tadi ngeliatin aja? Udah suka?” Tanya Nathan kembali.

“S–suka sih..”

“How about love?”

Kiera terdiam. Kalau ditanya apa pertanyaan tersulit baginya. Sudah pasti dia akan menjawab 'Pertanyaan dari Nathan.'

“Kamu nanya apa sih, aku cuma penasaran sama kopi kamu. Makanya aku ngeliatin terus.”

“Kopi, ya?”

Kiera mengangguk.“Uh huh.”

“Kamu ga boleh minum kopi.”

“Dikit aja please.”

“Kepingin banget?”

“Banget.”

Nathan berpikir sejenak. Ia melirik ke arah Kiera dan menegakkan posisi duduknya saat telah mendapatkan ide.

“Aku tau cara lain supaya kamu bisa ngerasain tanpa harus minum.”

“Serius? How can?”

“Yakin kamu mau?”

Kiera mengangguk. “Uhm.”

“Aku tanya sekali lagi. Kamu yakin?”

“Duh kelamaan. Yakin, Na.”

“As your wish, Princess.”

Nathan menangkup pinggang kanan Kiera, menariknya perlahan hingga memotong jarak antar mereka. Ia tersenyum hangat, menransfer kehangatan pada gadis di hadapannya. Di sisi lain, Kiera hanya mematung. Ya Tuhan, siapa yang bisa menolak senyuman termanis milik Nathaniel. Jika ada, maka orang itu harus pergi ke Psikolog. Begitulah pikirnya.

“Princess, aku tidak merendahkan-mu. Dan tidak akan pernah. Untuk calon ratu-ku, segala keinginannya akan aku penuhi. Dan hari ini, keinginan pertama itu hadir. Atas izinmu, akan aku penuhi keinginanmu itu.”

Cup!

Sebuah kecupan mendarat pada bibir mungil Kiera. Hanya bertahan satu detik. Bukan tanpa alasan, Nathan melakukan itu untuk melihat respon sang gadis. Apabila Kiera menolak, maka Nathan akan mundur. Namun kedua mata Kiera terpejam, itu berarti lampu hijau baginya. Nathan kembali memotong jarak hingga bibir mereka berpaut, dan sedikit melakukan gerakan melumat ketika ada pintu masuk baginya. Instingnya cukup bagus pada hal ini. Tangan kanan Kiera meraba sekitar- Tunggu. Bukan itu yang dimaksud. Kiera meraba sekitarnya, mencari buku menu yang tergeletak di atas meja. Ia menarik buku itu dan menjadikannya penutup bagi aktivitas mereka berdua. Tidak ada yang boleh melihat privacy mereka. Terlepas dari status kebangsawanan mereka berdua.

Setelah dirasa kehabisan pasokan oksigen, tautan mereka akhirnya terlepas, diakhiri dengan kecupan lembut pada bibir dan kening Kiera. Tentu saja mereka canggung. Ada sekitar dua menit mereka diam tanpa suara.

“So, how's the coffee taste?” Nathan angkat bicara.

“Uhm– Pahit.”

“Hahahaaaa! It's bitter kiss? Kopi itu emang pahit. Here's eight shots if you wanna know.”

“WHAT?! Na, kamu gila ya?! Banyak banget!”

“It's okay, aku udah terbiasa. Anyways, liptint kamu rasa strawberry?”

“Uh...Y-ya. Kenapa?”

“Aku benci rasa strawberry. Tapi aku suka saat kamu yang pakai.”

Hening sejenak.

“It's my first kiss anyway.” Ucap Kiera.

“But i'm not.”

Entahlah, ada rasa kecewa dalam hatinya.

“Oh, really? Siapa perempuan beruntung itu?”

Nathan menangkap ada gerakan gelisah dalam mata Kiera. Perasaannya campur aduk kala itu. Seperti americano dengan rasa strawberry. Pahit dan manis yang menjadi satu. Lagi dan lagi ia hanya tersenyum.

“Yang mulia Ratu Yuna. Bunda-ku.”


. . . To be continued . . . —Zhi

Garasi Kastil.

“Kak, lo mikir apa yang gue pikirin?” “Is that possible?”

DRAAAK!!! Tumpukan kayu jatuh menyentuh tanah akibat benturan mobil khas militer, Pasukan militer tiba. Sosok laki-laki semampai berkulit seputih salju muncul pada atap mobil dengan teropong dan walkie talkie pada kedua tangannya. Itu Jay, Anthonio Jay. Berkat ajaran dari sang Ayah yang memiliki kedudukan sebagai seorang Jenderal bintang empat. Jay memimpin pasukan hari ini. Tentu atas izin Yang Mulia Raja Simon.

“Bawa semua tahanan! Sebagian lagi periksa bagian dalam kastil. Tangkap semua pelaku tanpa tertinggal satu pun.”


. . . To be continued . . . —Zhi

District L : Toko buku merah

image


“Kalian bertiga tunggu disini. Jangan kemana-mana.”

“Ya gue mah ngikut kemana Kiera aja kak.”

“Tapi Kiera ngikutin gue, berarti lo ngikutin gue dong.”

“Ra, emang kamu ngikutin dia?”

“Iya kan Ki? Kita kan udah kaya sandal jepit.”

“Udah udah. Kasian Putri pasti pusing ngadepin kalian. Gue pergi sekarang. Tetep jaga diri, jangan keluar dari toko buku, dan jangan lupa hubungin orang tua kalian.”

BRAK!

Hening kemudian.

“Ra, laper engga? Mau makan apa? Di depan ada toko ice cream, mau? Beli yuk.”

“Hah?”

“Heh Pangeran dongo! Lu ga denger apa kata Kak Wino tadi, hah? Kita ga boleh kemana-mana AAAKKHHH FRUSTASI BANGET GUE NGADEPIN LO.” Tampaknya Rendy frustasi menghadapi kelakuan Nathan yang kelewat random. Sedangkan Kiera, satu-satunya perempuan disana tidak sanggup berkata-kata sangkin pusingnya.

“Lo mau rasa apa?”

“NATHANIEL!”

Krieeet.

“Ada ribut-ribut apa ini? Seru banget kayaknya.”

TRAK.

“Om Theo?”

“Nih, ada croissant dan kopi buat kalian biar ga laper.”

“Ice cream gak ada, Om? Kiera mau ice cream.”

“Apaan?! Enggak Om, Kiera gak ada bilang gitu sumpah.”

“Tuhkan. Kiki aja gamau. Pasti elo kan yang ngidam ice cream? Ngaku.”

“HAHAHAHAHAAA.”

“Ketawa lu? Nih pangeran satu udah kena virus siput gila kayaknya.”

“Hey, hey, ayo nikmatin dulu makanannya. Tuh lihat, tuan Putri udah minum duluan tapi kalian masih berdebat, apa gak malu?” Ujar Theo.

“Rendy gak minum kopi, Om.”

“Loh sejak kapan, Ren? Kok gue gatau?” Tanya Kiera.

“Sejak tadi. Soalnya gue takut asam lamb– AAKKHH KI KO KEPALA GUE DI GETUK SENDOK SIH?”

“HAHAHAHA HA HAHAHAHA.”

“GAUSA KETAWA!”

“Kalau begitu saya ke atas dulu, saya harus pantau anak buah saya.”

“Iya Om, terimakasih makanannya.”

“Terimakasih Om Theo.”

“Thank you, Om.”


“Kalian ngerasa ada yang aneh gak si?”

“What about?”

“Ini loh, Na. Kok bisa penjaga di garasi mati mendadak? They must have been killed, but who did it?”

Setelah membaca pesan yang Marco kirim, Kiera merasa ada yang aneh dengan kemunculan lima mayat di garasi. Kini mereka bertiga mulai berpikir keras, merangkai sebuah kemungkinan yang siapa tau menghasilkan jawaban. Dan benar saja, tidak lama kemudian, Rendy tersadar setelah mendapat pesan dari Jeremmy yang masuk akal untuk dijadikan tersangka atas pembunuhan itu.

“Na.”

“Hm.”

“Lo inget pesan Pangeran Calvin untuk dua sahabatnya?”

“Engga. Kan lo doang yang denger.”

“Emang apa pesannya, Ren?” Tanya Kiera.

“Pangeran Calvin bilang kalau Om Yuta dihipnotis Dokter Moon.”

“SERRIOUSLY?!”

“Iya, Ki. Dan lo tau apa yang bikin gue kaget?”

“Apa?”

“Jere bilang, pengaruhnya punya batas waktu tertentu. Jadi ada kemungkinan kalau Om Yuta sempat sadarkan diri. Tapi ga lama, Dokter Moon ngelakuin hipnotis itu lagi.”

“Jadi maksud lo...Pelaku pembunuhan di garasi itu Om Yuta?”

“You got the point, Ki.”

“Cape banget gue mikirin mau pake pasal berapa buat ngehukum manusia keji satu itu.”

“Siapa, Na?”

“Dokter Moon.”

“Gue pikir Om Yuta.” Ujar Rendy.

“Om Yuta ga kena hukuman. Posisinya, dia dalam kendali orang lain dan ga sadarkan diri. Soal pembunuhan di garasi, Om Yuta ngelakuin itu sebagai Alpha two. Karena dari awal, misi dia itu menangkap Dokter Moon. Dan dalam misi besar tersebut, anak buah Dokter Moon boleh disingkirkan apabila menghalangi jalannya penangkapan.”

“Bentar, gue merinding. Jadi sekarang Om Yuta udah sadarkan diri?”

“Bisa jadi. Karena pasukan militer pasti udah tiba disana dan ada Jere yang bisa patahin pengaruh Dokter Moon dari Om Yuta.”

“Semoga Dokter Moon hari ini tertang–”

DAR!!!

“What's that?!”

DAR!!!

“Siapa yang berani pake senapan disini?!”

DRAP DRAP DRAP!

“Nathan jangan kelu–AH SIAL!”

Nathaniel berlari keluar ruangan, langkahnya terdengar telah menaiki tangga menuju lantai dasar toko buku. Rendy tak bisa tinggal diam, ia mengikuti kemana Nathan pergi. Kiera yang tertinggal di belakang memutuskan untuk mengikuti kedua temannya.


“Dokter M–”

“SSSSHHH!” Nathan membungkam mulut Kiera dengan tangannya. dr. Moon bisa saja mendengar suara mereka.

Ya, dr. Moon kini berada di lantai dasar toko buku merah. Keadaan sekitar telah kacau. Buku berserakan dimana-mana akibat pengunjung yang berlarian. Dan lebih sialnya lagi, terlihat pegawai wanita yang sudah mendapat luka tembak pada bagian perut. Darahnya merembes keluar menimbulkan noda pada kemeja putihnya. Theo dalam posisi tidak menguntungkan. Ia terpojok pada sudut ruangan toko dengan senapan milik dr. Moon yang mengacung di depan kepalanya. Tangannya memegang senapan namun lengannya terlihat berdarah, seperti sudah terkena luka tembak.

Nathan melihat gerak-gerik Theo yang seakan memintanya untuk segera keluar meninggalkan toko. Ia paham lalu menuntun kedua temannya untuk segera keluar. dr. Moon tidak sadar dengan keberadaan mereka, tapi lonceng pada pintu masuk toko menggagalkan segalanya. dr. Moon menoleh ke belakang, Nathan telah berlari keluar, Rendy menarik lengan Kiera di ambang pintu menuntunnya agar berlari lebih cepat.

DAR!!! Peluru dari Theo berhasil menggores lengan dr. Moon.

DAR!!! “Ugh!” Theo mendapat serangan balik pada perut bagian kiri nya.

DRRRTTTT!! DRRRTTTT!!

“HALO?”

DAR!!!

TIIIIINNNNN!!!

“NA, LARI DARI TOKO ITU SEKARANG!”

“GUE UDAH DI–”

“AAAAAAAAAA”

“HAH? NA, SUARA LO GA KEDENGERAN. SHARELOC SEKARANG!”

“JERE, PANGGIL DUA AMBULANS KE TOKO BUKU DAN TEMPAT YANG GUE SHARE.”

“HAH?? BERAPA???”

“Shit! YANG BANYAK!!!”

Beep!

“Ra, ada yang luka?”

Kiera menggeleng.

“Na, jangan ke tempat ramai, banyak warga sipil. Bahaya.” Ujar Rendy. Ketiganya masih berlari menjauhi toko, mencari tempat aman terdekat. Sialnya posisi mereka jauh dari kantor polisi.

BRUK!!!

“Ra, buset kok bisa jatuh si? Cepet naik.”

Nathan berjongkok memunggungi Kiera, menawarkan tumpangan. Kini mereka bertiga lanjut berlari dengan Nathan yang menggendong Kiera pada punggungnya. Entah ke arah mana mereka berlari, terlihat banyak tumpukan kontainer terbengkalai di sana.

“Ra, aku sama Rendy mau periksa sekitar, kamu tunggu di sini dulu ya. Jangan kemana-mana oke? Nanti kita balik lagi.”

“Tapi, Na–”

“Kiera, kamu butuh istirahat. Jangan kecapekan oke? Aku janji cuma sebentar.”

Kiera hanya bisa mengangguk. Nathan mengusak rambut Kiera dengan senyuman manis di bibirnya sebelum pergi. Kini Kiera hanya diam di tempat, menatap punggung laki-laki yang berlari menjauh hingga hilang pada pertigaan jalan. Ia sendiri.


“Ra, kamu bawa power bank ga? Ponsel aku mati soalnya hahaaa”

“Na!”

GREP!

“Eh? Kenapa, Ra? Kok nangis?”

“Takut.”

“Kenapa takut? Sekarang ada aku di–”

“NATHAN AWAS!!!”

DAR!!!

Bruk!

“KIERA!!”

BUAGH!!! TAK!

“BRENGSEK!!! LO LUKAIN SAHABAT GUE!! LO PANTAS MATI!!”

BUAGH!!! BUAGH!! DUAGH!!

GREP! BUAGH!!!

“Bocah gatau diri! Lebih baik lo yang mati.”

DUAGH!!! DUAGH!!!

“Rendy?!”

DRAP DRAP—BUAGH!!!

“BAJINGAN!!” BUAGH!! “BEDEBAH!!” BUAGH!! “LO UDAH LUKAIN TUNANGAN GUE!!” DUAGH!!!

Nathan kalut menyaksikan tunangannya tertembak pada bagian pinggang, juga sahabatnya yang babak belur hingga terkapar tidak berdaya. Senapan milik dr. Moon berhasil Rendy lempar tadi. Nathan berkali-kali terkena hantaman pada wajah juga tendangan pada perutnya. Tapi skornya lebih unggul dibanding dr. Moon, karena tangan dr. Moon terlihat sudah bergetar dan tidak stabil, juga ada kucuran darah pada lengannya. Hal ini pula yang menyebabkan Kiera tertembak, karena target sebenarnya adalah Nathan. Berhubung mereka berdua berpelukan, tembakan itu meleset hingga mengenai Kiera.

DUAGH!!!

BRUK!!

SET–Ceklek!

Nathan terjatuh pada aspal akibat tendangan dari lawan. Sebuah senapan jarak dekat mengarah lurus pada kepalanya. Rupanya dr. Moon tidak hanya membawa satu senapan, melainkan dua.

“It's over. You lose, Prince.”

DAR!!!

BZZTT!!

BRUK!!

“I said. I will kill you. Doctor Moon.” DUAGH!!!

“Mark! Stop it!”

“Not this time, Prince.”

DUAGH!!!

“KAK! Dia udah kena strum!”

DUAGH!!!

“Marco! Penjahat ini harus dihukum sebelum mati.” Ujar Nathan.

Marco terdiam. Tendangannya dihentikan. Hasan segera menarik tubuh dr. Moon yang sudah penuh luka akibat ulah Mark barusan.

Wiu! Wiu! Wiu!

“Je–”

“Ambulance arrived. Kita harus ke rumah sakit sekarang. Kiera pendarahan.”


. . . To be continued . . . —Zhi

Inside the castle | 12:52 p.m. tw // mention blood

image


“Sebelum ngukir tangan gue, darah siapa di pisau lo?” “Musuh. Tangkap pangeran. Habisi keluarga kerajaan.” “Ck. Mulai lagi. Turunin dulu pisau lo. Gue bukan Pangeran, bukan keluarga kerajaan.” “Musuh. Tangkap pangeran. Habisi keluarga kerajaan.”

BRAK!!! Pasukan militer tiba, beserta Marco yang menyalip masuk, mendekat ke arah Jeremmy.

“Musuh. Tangkap Pangeran–”

“Bukan. Dia juga bukan.”

“Bro, Om Yuta kenapa?”

“Jere. Lo bisa, kan?” Seisi ruangan reflek menoleh ke arah pintu, dimana Wino dan Jay berdiri.

Jeremmy mengangguk.

“Wait, wait! Bro, did I miss something?”

“Tangkap.” Satu perintah dari Jay, menggerakan para pasukan disana untuk menangkap Yuta. Yuta diikat pada sebuah sofa cokelat tua dengan tangan dan kaki yang diborgol.

“Semua pasukan, keluar. Jere, do that.”

Langkah Jere mendekat, ia duduk pada sofa tepat di hadapan Yuta. Tangannya merogoh saku jaket yang ia kenakan dan mengambil sebuah benda bulat berukuran kecil dengan suara redup detak jarum jam.

Ia ulurkan tangannya yang mengepal tepat dihadapan wajah Yuta. Genggamannya ia buka, benda itu jatuh bebas menggantung dan berayun indah menarik atensi.

Hyphnotherapy

Sebelum Wino sampai di kastil, Wino sempat menghubungi Jeremmy secara pribadi. Jere sempat terkejut dengan fakta bahwa Yuta dalam pengaruh hipnotis. Lalu untuk memastikannya, Jeremmy memutuskan untuk mengklarifikasi soal ini ke Rendy. Sumber informasi terpercaya.

image

Bola hipnotis terus berayun, Yuta tenggelam. Kini saat yang tepat untuk mempertanyakan banyak hal. Juga mengembalikan Yuta yang sebenarnya, bukan Yuta milik Dokter Moon.

“Dimana Dokter Moon?”

“Dia tidak disini.”

“Dimana Dokter Moon?”

“Menangkap Pangeran. Toko buku merah.”

DEG!!!

“BANGSAT!” Bukan. Itu bukan suara Jeremmy, Yuta atau Wino apalagi Hasan. Itu Marco.

DRRTT!! ROGER!! LAPOR, TERSANGKA TIDAK DITEMUKAN.

BRAK!!!

“Win–”

“Kita ke Pangeran sekarang.”

“Roger!!! Siaga satu!!! Toko buku merah. Kecepatan penuh!!! Lindungi Pangeran dan tuan Putri. SEKARANG!!!”

DRRTT!!! SIAP! LAKSANAKAN!!!


GRUUUNG!!!

“Mark, kurangi kecepatan lo, kita dekat pemukiman warga.”

“Je, kabar Nathan?”

“Ponselnnya ga aktif.”

Doctor Moon, if you touched the Prince, I swear to God, I will kill you.


. . . To be continued . . . —Zhi

Arah Hutan Barat Kastil | 12:25 p.m.

image

“Gue harus apa, Kak?” “Caper sama doa.” “Hah?”


DEP DEP DEP

Hasan, I trust you.

“Hoy Leon! Gimana keadaan di sungai?”

Oh, his name is Leon? “Aman.”

“Where is Ares?”

And Hasan pretend to be Ares? “Stay on the river.” Langkah Marco semakin mendekati tiga penjaga hutan barat yang sedang bertugas. Dua di antaranya berdiri seraya bersandar pada pohon, satu lainnya duduk sambil mengusap senapan dengan kain putih lusuh.

“Untuk apa kesini? Bukankah tidak diizinkan meninggalkan pos? FUH!” Ujar sang penjaga yang sedang duduk. Menyisakan debu dari senjata yang ia tiup. “Hanya...berkunjung, hahahaa” “Apa kau benar Leon? Huh?”

DEG!!

DEP. Penjaga yang semula duduk, kini beranjak berdiri. Mata yang berlindung pada kacamata hitam, menatap lurus pada Marco yang kini berusaha tenang dan tetap berjalan mendekat.

“Haha funny! I need some coffee.” Marco mengalihkan pembicaraan.

“Ohoo! Bilang dari tadi.” Penjaga itu berbalik ke arah pohon menuju tas hijau army di bawah kursi.

KREK!

“What's that?” Marco menoleh ke belakang hingga tiga penjaga itu mengikuti arah pandangannya.

“Biar saya yang cek.” Salah satu penjaga yang berdiri di sisi kiri, melangkah ke arah suara di dalam hutan sana.

Marco sialan gue gak sengaja nginjek ranting tai lu ngapain teriak! Batin Hasan kini panik. Satu penjaga semakin mendekat dengan senapan yang mengacung ke depan.

Ya Tuhan, Hasan masih mau hidup, masih banyak dosa tolong selametin Hasan, Tuhan. Amen.

“Meoow” Anjing kaget!! Tubuh Hasan terhuyung ke belakang karena terkejut. Beruntung ia masih bisa menahan beban tubuhnya.

Hasan melirik kucing oranye itu, sepertinya ia menemukan ide. Hasan mengangkat kucing itu dari kakinya dan melemparnya ke arah jalanan hutan yang tidak tertutup semak belukar, kemudian kembali bersembunyi.

“Syuh.”

KREK!

“Siapa itu?!”

“Meoow.”

“Hahahaa kamu ternyata! Saya pikir ada penyusup. Dasar kucing nakal.” Senapan yang tadi teracung kini dikaitkan kembali pada bahu sang penjaga. Taktik Hasan berhasil.

“Pus pus ayo sini” Penjaga itu kini berjongkok dengan tangan yang mengadah seperti minta uang. Sepertinya ia pecinta kucing.

Hasan berjalan perlahan dibalik pepohonan dan–

SYUUT DEP! Tepat sasaran! tembakan bius berhasil mengenai leher penjaga hingga tumbang ditempat.

“Berhasil!” Makasih banyak meng, gue janji bakal donasi wiskas sepuluh karung bareng Nathan. Batinnya. Entah kenapa Nathan disebut.

Di sisi lain, Marco masih dengan dua penjaga. Satu penjaga kini berdiri di samping Marco sambil berbincang tentang senapan. Beruntung Kak Wino sudah banyak menjelaskan tentang berbagai senapan yang langsung diresap otak cerdas miliknya.

Penjaga lainnya masih mencari keberadaan kopi di dalam tas. “Kau mau biskuit kacang?”

“Sure.”

Hening sejenak.

Penjaga itu manarik tangannya dari dalam tas, tubuhnya kembali tegap. “Leon alergi kacang.”

Ceklek!

Dua laki-laki saling berhadapan, saling mengacungkan senapan yang dapat membunuh kapan saja. Penjaga itu melirik ke arah kanan Marco, tepat dimana temannya telah tergeletak tak berdaya akibat bius. Pandangan mereka kembali bertemu sengit.

“Who. Are. You?”

“Hai. My name is Mark.”

DAR!!! KREK

Meleset. Peluru dari Hasan meleset ke arah pohon. Menghancurkan kayu di sekitarnya.

DAR!!! ZRASH Tembakan reflek dari lawan meleset namun berhasil menggores luka pada bahu kiri Marco. Dengan gesit, Marco yang melihat lawan kehilangan fokus memulai serangan terlebih dahulu. Kakinya melakukan tendangan belakang hingga tubuhnya berputar, menendang senapan lawan hingga terlempar ke sisi kanan dan–

DAR!!! Peluru Marco mengenai kaki lawan hingga berlutut. Hasan yang baru saja tiba, langsung meluncurkan serangan listrik pada lawan hingga pingsan. Selama Marco mengikat lawan, Hasan berjalan ke arah senapan yang terlempar. Tangannya mengutak-atik senapan tersebut dan mengambil isi peluru, lalu ia masukan kedalam saku miliknya untuk berjaga-jaga.

DRRTT!! ROGER!! WOLF ONE WOLF ONE!!

“Kak, suara senapan kita pasti kedengeran.”

“It's okay. Koordinat?”

“Ah, the coordinates were towards the river, then back to the house, then to the garage and it's still there until now. Isn't it strange?”

DRRTT!! DRRTT!! ALPHA TWO!! ALPHA TWO!!

“Buset berisik aja nih telpon jadul.”

“Wait, Hasan. Did you hear that?”

“Hhhh. What again?”

“Alpha two.”

Hening sejenak.

“Oh, no.”


. . . To be continuous . . . —Zhi

GOLD : DISTRICT L

SRAK!! GREP! “SIAPA DI SAN–.” BZZTT!! “Maap ya orang jahat.”

“PENYUS–” BUAGH!!! BZZTT!! BRUK! “Mark, ini efek strum nya tahan berapa lama?” “Bentar doang, makanya cepet borgol.” Hasan mengangguk dan memasukan kembali Stun Gun tipe TP-1158 miliknya kedalam saku khusus pada pinggangnya lalu memborgol kedua tangan dan kaki penjaga yang pingsan.

“San.” “Ughh. Napa?” Masih sibuk menarik tubuh penjaga ke dalam semak belukar, namun sudah disebut lagi namanya membuat Hasan sedikit terusik. “Buka baju lo.” “Homo lo anjing?!” “What the f–I mean, kita nyamar jadi penjaga disini, pakai seragam mereka.” “Oh hehe. Ngadep sana lu. Jangan ngintip.” “Ga napsu.”

To be continue

—Zhi

Istana Torch 14 April 2021, 09:00 p.m.

“Gue emang mau ke istana, tapi bukan gini caranya.” Kini mereka berempat telah sampai di istana. Hasan masih berdiri, terpaku menatap bagian dalam istana yang megah dari ambang pintu masuk. Bahkan petugas yang menjaga pintu istana heran melihat tingkahnya.

“Terus lo maunya gimana? Jadi tahanan?”

“Shut— Ah shit gue jadi gaenak ngomongnya.”

“Chill. Drop your formality.” Ujar Kiera yang telah duduk di salah satu sofa panjang berwarna merah, di sisi kiri ruangan.

TUK. TUK. TUK. TUK. Kiera tahu persis, suara langkah siapa itu.

“Selamat datang di istana kerajaan Torch, anak-anaku.” Empat sekawan yang sebelumnya pada posisi santai masing-masing, kini beranjak bediri serentak termasuk Hasan yang seketika menundukkan kepala di ambang pintu.

“Salam, Yang Mulia Ratu.”

BRUK! Nathan jatuh terduduk pada tepi jurang, tepat dimana kakaknya tewas. Hatinya hancur mengingat peristiwa pilu itu. Bertahun-tahun ia hidup dengan damai dalam sejarah palsu. Kepalanya menunduk, setetes air lolos membasahi pipi. Tangannya mengepal, tekadnya semakin kuat. Dokter Moon harus ditangkap.

Kiera yang menyaksikan betapa terpuruknya Nathan, memutuskan untuk ikut duduk di sampingnya, ia menempuk pundak serta mengusap surai lembut milik Nathan. “Ayo kita selesaikan ini bersama. Kami ada di sampingmu, Pangeran.” Ujar Kiera.

“Na, Lo udah ingat semua?” “Hm. Lo?” “Not yet.” “The lake has called you, Rendy.”

Langit sudah gelap, kini mereka telah berada di tepi danau. Perbatasan utara kerajaan Torch dan Gold. Beruntunglah mereka dibekali lentera minyak dari persewaan kuda tadi. Kiera menyalakan satu dari empat lentera. Nathan memilih untuk menyalakan senter HP miliknya, begitu pula Rendy. Tapi Hasan, entah sangkin serius dengan ponselnya, ia sepertinya tidak sadar sedang memegang senter kelinci ungu yang Kiera beli tadi.

“Gue ikut masuk gak?” Tanya Nathan pada Rendy, yang ditanya menggelengkan kepala. “Gak perlu. Lagipula kayaknya lo udah gak sadarkan diri waktu itu.” “Lah, itu lo inget?!” “Ya buktinya ingatan lo berhenti di tepi jurang tadi.” “Oh iya. Yaudah sana masuk keburu makin gelap, serem.” “Ya.”

Rendy melepas pakaian bagian atas miliknya dan beranjak masuk ke dalam danau. Kakinya gemetar, tidak. Seluruh tubuhnya dingin dan gemetar, peluh mulai membasahi kepalanya.

“Rendy, lo gemeter.” Ujar Kiera. “I'm okay, Ki. Tolong senterin gue ya.” Ujar Rendy. Kiera tau, Rendy tidak baik-baik saja. Tapi ini keputusannya, ia tidak berhak mengganggu gugat.


(flashback danau bg hitam)


“Rendy!.” “Ren!”

NGUUUNG Rendy membuka kedua matanya, rungunya berdengung. Sunyi, hanya terdengar suara air di permukaan telinga. Kepalanya dibawah garis permukaan air, kakinya terus mengayuh, menahan agar tak tenggelam. Everything is clear. Rendy mengingat semua kejadian, hingga ia berakhir pingsan saat itu. Tubuhnya tak lagi gemetar, fobianya hilang sudah. Ia berhasil mengatasi ketakutannya. Rendy mendongak menatap cahaya di atas sana, tangannya terulur ke atas hendak membawa tubuhnya ke permukaan.

“Hmph.” Please jangan sekarang. Kini Rendy merasakan keram pada kakinya, sedangkan napasnya mulai habis dibawah sana. Ia hanya bisa mengendalikan kedua tangannya. Namun posisinya cukup dalam hingga ia kewalahan. Dadanya mulai sesak, pandangannya buram.

BYUR!!! Sosok Nathan terlihat memasuki air. Tangannya disambut dan dibawa menuju permukaan. Déjà vu.

“UHUK. UHUK.” Rendy terbatuk-terbatuk saat keluar dari danau. Ia mengeluarkan air yang menerobos masuk ke paru-parunya.

“Batu sih lo! gue bilang juga apa, harusnya gue ikut masuk.” Omel Nathan. Anehnya, Rendy tidak kesal. Ia justru tertawa mendengarnya.

“So, we are friends since nine years ago?” Tanya Nathan. “Ya gitu deh.” Jawab Rendy. “Wait, what? nine years? WDYM?” Sahut Kiera. Nathan dan Rendy tertawa dan menjawab bersamaan. “We'll talk about this later.” “Huh?!” Ingin sekali Kiera melempar mereka berdua ke dalam danau saat ini.

TUNING! “Yo, Guys!” Teriakan Hasan berhasil menarik atensi ke-tiga temannya. “Koordinatnya ketemu.”

Lima menit berlalu, akhirnya Nathan dan Kiera tiba di lokasi. Rendy dan Hasan terlihat berdiri menghadap bangunan bertuliskan Fairy Tale. Rendy menoleh ke belakang saat seseorang menepuk pundaknya.

“Gue inget.” Dengan napas yang tersengal, Nathan terus memutar otaknya menggabungkan kepingan puzzle satu sama lain.


(flashback penculikan bg hitam)


Empat sekawan ini kini berdiri pada kaki pegunungan. Disneyland Torch Kingdom berada tidak jauh dari pegunungan utara, perbatasan antara kerajaan Torch dengan kawasan Gold.

“Kita masuk ke sana?” Tanya Hasan yang hanya dijawab anggukan kepala dari Nathan dan Rendy. “Pegunungan ini cukup luas, mau menyewa kuda? Aku tau tempatnya.” Ujar Kiera. Ketiga laki-laki di sana menyetujui itu, akhirnya mereka melanjutkan pencarian dengan empat kuda bersama mereka. Tidak disangka jika Hasan juga bisa menunggangi kuda walaupun tidak se-pro tiga temannya.

“San! Perhatiin jalan lo jangan terlalu fokus ke HP.” Ujar Rendy. “Titik koordinatnya barusan kedip!” Mereka serentak berhenti. “Maksud lo?” Dahi Nathan mengenyit, berpikir keras maksud dari ucapan Hasan. “Lo tau sendiri gue sama om Theo lagi ngelacak om Yuta. Dan barusan titiknya nyala, tapi hilang lagi sialan.” Ujar Hasan.

“Pa‐eum.. Na, selanjutnya gimana?” Rendy bertanya. Nathan terlihat berpikir, melihat kedalam ingatannya. “Cari gubuk tua. Posisinya gak jauh dari jurang danau.” Ujar Nathan. “Are you sure the hut is still there? Nine years have passed.” Rendy ingat, kejadiannya sudah sembilan tahun berlalu. Satu tahun lagi, kasus ini akan terpaksa dihentikan. Tahun ini juga, pelakunya harus ditemukan agar bisa dihukum dengan adil apalagi kasus ini sudah mengarah pada kudeta.

Mereka kembali memasuki hutan, mencari gubuk yang kembali teringat. Cukup sulit karena pegunungan ini benar-benar luas adanya. Langit mulai kehilangan biru-nya. Terdengar suara decitan tikus tak jauh dari tempat mereka. “Hey guys! Is this the shack we're looking for?” Ketiga laki-laki yang mendengar teriakan Kiera, langsung menggerakan kuda mereka ke arah sumber suara. Ketiganya tiba di tempat secara bersamaan. Satu gubuk tua yang telah termakan waktu masih berdiri kokoh di hadapan mereka. Mereka turun dan mengikat kudanya pada pohon di sekitar gubuk. Ketika melangkah masuk, sebuah puzzle pieces kembali tersusun rapih bagai sebuah sihir.

(flashback gubuk bg hitam)