Final.

District L : Toko buku merah

image


“Kalian bertiga tunggu disini. Jangan kemana-mana.”

“Ya gue mah ngikut kemana Kiera aja kak.”

“Tapi Kiera ngikutin gue, berarti lo ngikutin gue dong.”

“Ra, emang kamu ngikutin dia?”

“Iya kan Ki? Kita kan udah kaya sandal jepit.”

“Udah udah. Kasian Putri pasti pusing ngadepin kalian. Gue pergi sekarang. Tetep jaga diri, jangan keluar dari toko buku, dan jangan lupa hubungin orang tua kalian.”

BRAK!

Hening kemudian.

“Ra, laper engga? Mau makan apa? Di depan ada toko ice cream, mau? Beli yuk.”

“Hah?”

“Heh Pangeran dongo! Lu ga denger apa kata Kak Wino tadi, hah? Kita ga boleh kemana-mana AAAKKHHH FRUSTASI BANGET GUE NGADEPIN LO.” Tampaknya Rendy frustasi menghadapi kelakuan Nathan yang kelewat random. Sedangkan Kiera, satu-satunya perempuan disana tidak sanggup berkata-kata sangkin pusingnya.

“Lo mau rasa apa?”

“NATHANIEL!”

Krieeet.

“Ada ribut-ribut apa ini? Seru banget kayaknya.”

TRAK.

“Om Theo?”

“Nih, ada croissant dan kopi buat kalian biar ga laper.”

“Ice cream gak ada, Om? Kiera mau ice cream.”

“Apaan?! Enggak Om, Kiera gak ada bilang gitu sumpah.”

“Tuhkan. Kiki aja gamau. Pasti elo kan yang ngidam ice cream? Ngaku.”

“HAHAHAHAHAAA.”

“Ketawa lu? Nih pangeran satu udah kena virus siput gila kayaknya.”

“Hey, hey, ayo nikmatin dulu makanannya. Tuh lihat, tuan Putri udah minum duluan tapi kalian masih berdebat, apa gak malu?” Ujar Theo.

“Rendy gak minum kopi, Om.”

“Loh sejak kapan, Ren? Kok gue gatau?” Tanya Kiera.

“Sejak tadi. Soalnya gue takut asam lamb– AAKKHH KI KO KEPALA GUE DI GETUK SENDOK SIH?”

“HAHAHAHA HA HAHAHAHA.”

“GAUSA KETAWA!”

“Kalau begitu saya ke atas dulu, saya harus pantau anak buah saya.”

“Iya Om, terimakasih makanannya.”

“Terimakasih Om Theo.”

“Thank you, Om.”


“Kalian ngerasa ada yang aneh gak si?”

“What about?”

“Ini loh, Na. Kok bisa penjaga di garasi mati mendadak? They must have been killed, but who did it?”

Setelah membaca pesan yang Marco kirim, Kiera merasa ada yang aneh dengan kemunculan lima mayat di garasi. Kini mereka bertiga mulai berpikir keras, merangkai sebuah kemungkinan yang siapa tau menghasilkan jawaban. Dan benar saja, tidak lama kemudian, Rendy tersadar setelah mendapat pesan dari Jeremmy yang masuk akal untuk dijadikan tersangka atas pembunuhan itu.

“Na.”

“Hm.”

“Lo inget pesan Pangeran Calvin untuk dua sahabatnya?”

“Engga. Kan lo doang yang denger.”

“Emang apa pesannya, Ren?” Tanya Kiera.

“Pangeran Calvin bilang kalau Om Yuta dihipnotis Dokter Moon.”

“SERRIOUSLY?!”

“Iya, Ki. Dan lo tau apa yang bikin gue kaget?”

“Apa?”

“Jere bilang, pengaruhnya punya batas waktu tertentu. Jadi ada kemungkinan kalau Om Yuta sempat sadarkan diri. Tapi ga lama, Dokter Moon ngelakuin hipnotis itu lagi.”

“Jadi maksud lo...Pelaku pembunuhan di garasi itu Om Yuta?”

“You got the point, Ki.”

“Cape banget gue mikirin mau pake pasal berapa buat ngehukum manusia keji satu itu.”

“Siapa, Na?”

“Dokter Moon.”

“Gue pikir Om Yuta.” Ujar Rendy.

“Om Yuta ga kena hukuman. Posisinya, dia dalam kendali orang lain dan ga sadarkan diri. Soal pembunuhan di garasi, Om Yuta ngelakuin itu sebagai Alpha two. Karena dari awal, misi dia itu menangkap Dokter Moon. Dan dalam misi besar tersebut, anak buah Dokter Moon boleh disingkirkan apabila menghalangi jalannya penangkapan.”

“Bentar, gue merinding. Jadi sekarang Om Yuta udah sadarkan diri?”

“Bisa jadi. Karena pasukan militer pasti udah tiba disana dan ada Jere yang bisa patahin pengaruh Dokter Moon dari Om Yuta.”

“Semoga Dokter Moon hari ini tertang–”

DAR!!!

“What's that?!”

DAR!!!

“Siapa yang berani pake senapan disini?!”

DRAP DRAP DRAP!

“Nathan jangan kelu–AH SIAL!”

Nathaniel berlari keluar ruangan, langkahnya terdengar telah menaiki tangga menuju lantai dasar toko buku. Rendy tak bisa tinggal diam, ia mengikuti kemana Nathan pergi. Kiera yang tertinggal di belakang memutuskan untuk mengikuti kedua temannya.


“Dokter M–”

“SSSSHHH!” Nathan membungkam mulut Kiera dengan tangannya. dr. Moon bisa saja mendengar suara mereka.

Ya, dr. Moon kini berada di lantai dasar toko buku merah. Keadaan sekitar telah kacau. Buku berserakan dimana-mana akibat pengunjung yang berlarian. Dan lebih sialnya lagi, terlihat pegawai wanita yang sudah mendapat luka tembak pada bagian perut. Darahnya merembes keluar menimbulkan noda pada kemeja putihnya. Theo dalam posisi tidak menguntungkan. Ia terpojok pada sudut ruangan toko dengan senapan milik dr. Moon yang mengacung di depan kepalanya. Tangannya memegang senapan namun lengannya terlihat berdarah, seperti sudah terkena luka tembak.

Nathan melihat gerak-gerik Theo yang seakan memintanya untuk segera keluar meninggalkan toko. Ia paham lalu menuntun kedua temannya untuk segera keluar. dr. Moon tidak sadar dengan keberadaan mereka, tapi lonceng pada pintu masuk toko menggagalkan segalanya. dr. Moon menoleh ke belakang, Nathan telah berlari keluar, Rendy menarik lengan Kiera di ambang pintu menuntunnya agar berlari lebih cepat.

DAR!!! Peluru dari Theo berhasil menggores lengan dr. Moon.

DAR!!! “Ugh!” Theo mendapat serangan balik pada perut bagian kiri nya.

DRRRTTTT!! DRRRTTTT!!

“HALO?”

DAR!!!

TIIIIINNNNN!!!

“NA, LARI DARI TOKO ITU SEKARANG!”

“GUE UDAH DI–”

“AAAAAAAAAA”

“HAH? NA, SUARA LO GA KEDENGERAN. SHARELOC SEKARANG!”

“JERE, PANGGIL DUA AMBULANS KE TOKO BUKU DAN TEMPAT YANG GUE SHARE.”

“HAH?? BERAPA???”

“Shit! YANG BANYAK!!!”

Beep!

“Ra, ada yang luka?”

Kiera menggeleng.

“Na, jangan ke tempat ramai, banyak warga sipil. Bahaya.” Ujar Rendy. Ketiganya masih berlari menjauhi toko, mencari tempat aman terdekat. Sialnya posisi mereka jauh dari kantor polisi.

BRUK!!!

“Ra, buset kok bisa jatuh si? Cepet naik.”

Nathan berjongkok memunggungi Kiera, menawarkan tumpangan. Kini mereka bertiga lanjut berlari dengan Nathan yang menggendong Kiera pada punggungnya. Entah ke arah mana mereka berlari, terlihat banyak tumpukan kontainer terbengkalai di sana.

“Ra, aku sama Rendy mau periksa sekitar, kamu tunggu di sini dulu ya. Jangan kemana-mana oke? Nanti kita balik lagi.”

“Tapi, Na–”

“Kiera, kamu butuh istirahat. Jangan kecapekan oke? Aku janji cuma sebentar.”

Kiera hanya bisa mengangguk. Nathan mengusak rambut Kiera dengan senyuman manis di bibirnya sebelum pergi. Kini Kiera hanya diam di tempat, menatap punggung laki-laki yang berlari menjauh hingga hilang pada pertigaan jalan. Ia sendiri.


“Ra, kamu bawa power bank ga? Ponsel aku mati soalnya hahaaa”

“Na!”

GREP!

“Eh? Kenapa, Ra? Kok nangis?”

“Takut.”

“Kenapa takut? Sekarang ada aku di–”

“NATHAN AWAS!!!”

DAR!!!

Bruk!

“KIERA!!”

BUAGH!!! TAK!

“BRENGSEK!!! LO LUKAIN SAHABAT GUE!! LO PANTAS MATI!!”

BUAGH!!! BUAGH!! DUAGH!!

GREP! BUAGH!!!

“Bocah gatau diri! Lebih baik lo yang mati.”

DUAGH!!! DUAGH!!!

“Rendy?!”

DRAP DRAP—BUAGH!!!

“BAJINGAN!!” BUAGH!! “BEDEBAH!!” BUAGH!! “LO UDAH LUKAIN TUNANGAN GUE!!” DUAGH!!!

Nathan kalut menyaksikan tunangannya tertembak pada bagian pinggang, juga sahabatnya yang babak belur hingga terkapar tidak berdaya. Senapan milik dr. Moon berhasil Rendy lempar tadi. Nathan berkali-kali terkena hantaman pada wajah juga tendangan pada perutnya. Tapi skornya lebih unggul dibanding dr. Moon, karena tangan dr. Moon terlihat sudah bergetar dan tidak stabil, juga ada kucuran darah pada lengannya. Hal ini pula yang menyebabkan Kiera tertembak, karena target sebenarnya adalah Nathan. Berhubung mereka berdua berpelukan, tembakan itu meleset hingga mengenai Kiera.

DUAGH!!!

BRUK!!

SET–Ceklek!

Nathan terjatuh pada aspal akibat tendangan dari lawan. Sebuah senapan jarak dekat mengarah lurus pada kepalanya. Rupanya dr. Moon tidak hanya membawa satu senapan, melainkan dua.

“It's over. You lose, Prince.”

DAR!!!

BZZTT!!

BRUK!!

“I said. I will kill you. Doctor Moon.” DUAGH!!!

“Mark! Stop it!”

“Not this time, Prince.”

DUAGH!!!

“KAK! Dia udah kena strum!”

DUAGH!!!

“Marco! Penjahat ini harus dihukum sebelum mati.” Ujar Nathan.

Marco terdiam. Tendangannya dihentikan. Hasan segera menarik tubuh dr. Moon yang sudah penuh luka akibat ulah Mark barusan.

Wiu! Wiu! Wiu!

“Je–”

“Ambulance arrived. Kita harus ke rumah sakit sekarang. Kiera pendarahan.”


. . . To be continued . . . —Zhi