West Forest
Arah Hutan Barat Kastil | 12:25 p.m.
“Gue harus apa, Kak?” “Caper sama doa.” “Hah?”
DEP DEP DEP
Hasan, I trust you.
“Hoy Leon! Gimana keadaan di sungai?”
Oh, his name is Leon? “Aman.”
“Where is Ares?”
And Hasan pretend to be Ares? “Stay on the river.” Langkah Marco semakin mendekati tiga penjaga hutan barat yang sedang bertugas. Dua di antaranya berdiri seraya bersandar pada pohon, satu lainnya duduk sambil mengusap senapan dengan kain putih lusuh.
“Untuk apa kesini? Bukankah tidak diizinkan meninggalkan pos? FUH!” Ujar sang penjaga yang sedang duduk. Menyisakan debu dari senjata yang ia tiup. “Hanya...berkunjung, hahahaa” “Apa kau benar Leon? Huh?”
DEG!!
DEP. Penjaga yang semula duduk, kini beranjak berdiri. Mata yang berlindung pada kacamata hitam, menatap lurus pada Marco yang kini berusaha tenang dan tetap berjalan mendekat.
“Haha funny! I need some coffee.” Marco mengalihkan pembicaraan.
“Ohoo! Bilang dari tadi.” Penjaga itu berbalik ke arah pohon menuju tas hijau army di bawah kursi.
KREK!
“What's that?” Marco menoleh ke belakang hingga tiga penjaga itu mengikuti arah pandangannya.
“Biar saya yang cek.” Salah satu penjaga yang berdiri di sisi kiri, melangkah ke arah suara di dalam hutan sana.
Marco sialan gue gak sengaja nginjek ranting tai lu ngapain teriak! Batin Hasan kini panik. Satu penjaga semakin mendekat dengan senapan yang mengacung ke depan.
Ya Tuhan, Hasan masih mau hidup, masih banyak dosa tolong selametin Hasan, Tuhan. Amen.
“Meoow” Anjing kaget!! Tubuh Hasan terhuyung ke belakang karena terkejut. Beruntung ia masih bisa menahan beban tubuhnya.
Hasan melirik kucing oranye itu, sepertinya ia menemukan ide. Hasan mengangkat kucing itu dari kakinya dan melemparnya ke arah jalanan hutan yang tidak tertutup semak belukar, kemudian kembali bersembunyi.
“Syuh.”
KREK!
“Siapa itu?!”
“Meoow.”
“Hahahaa kamu ternyata! Saya pikir ada penyusup. Dasar kucing nakal.” Senapan yang tadi teracung kini dikaitkan kembali pada bahu sang penjaga. Taktik Hasan berhasil.
“Pus pus ayo sini” Penjaga itu kini berjongkok dengan tangan yang mengadah seperti minta uang. Sepertinya ia pecinta kucing.
Hasan berjalan perlahan dibalik pepohonan dan–
SYUUT DEP! Tepat sasaran! tembakan bius berhasil mengenai leher penjaga hingga tumbang ditempat.
“Berhasil!” Makasih banyak meng, gue janji bakal donasi wiskas sepuluh karung bareng Nathan. Batinnya. Entah kenapa Nathan disebut.
Di sisi lain, Marco masih dengan dua penjaga. Satu penjaga kini berdiri di samping Marco sambil berbincang tentang senapan. Beruntung Kak Wino sudah banyak menjelaskan tentang berbagai senapan yang langsung diresap otak cerdas miliknya.
Penjaga lainnya masih mencari keberadaan kopi di dalam tas. “Kau mau biskuit kacang?”
“Sure.”
Hening sejenak.
Penjaga itu manarik tangannya dari dalam tas, tubuhnya kembali tegap. “Leon alergi kacang.”
Ceklek!
Dua laki-laki saling berhadapan, saling mengacungkan senapan yang dapat membunuh kapan saja. Penjaga itu melirik ke arah kanan Marco, tepat dimana temannya telah tergeletak tak berdaya akibat bius. Pandangan mereka kembali bertemu sengit.
“Who. Are. You?”
“Hai. My name is Mark.”
DAR!!! KREK
Meleset. Peluru dari Hasan meleset ke arah pohon. Menghancurkan kayu di sekitarnya.
DAR!!! ZRASH Tembakan reflek dari lawan meleset namun berhasil menggores luka pada bahu kiri Marco. Dengan gesit, Marco yang melihat lawan kehilangan fokus memulai serangan terlebih dahulu. Kakinya melakukan tendangan belakang hingga tubuhnya berputar, menendang senapan lawan hingga terlempar ke sisi kanan dan–
DAR!!! Peluru Marco mengenai kaki lawan hingga berlutut. Hasan yang baru saja tiba, langsung meluncurkan serangan listrik pada lawan hingga pingsan. Selama Marco mengikat lawan, Hasan berjalan ke arah senapan yang terlempar. Tangannya mengutak-atik senapan tersebut dan mengambil isi peluru, lalu ia masukan kedalam saku miliknya untuk berjaga-jaga.
DRRTT!! ROGER!! WOLF ONE WOLF ONE!!
“Kak, suara senapan kita pasti kedengeran.”
“It's okay. Koordinat?”
“Ah, the coordinates were towards the river, then back to the house, then to the garage and it's still there until now. Isn't it strange?”
DRRTT!! DRRTT!! ALPHA TWO!! ALPHA TWO!!
“Buset berisik aja nih telpon jadul.”
“Wait, Hasan. Did you hear that?”
“Hhhh. What again?”
“Alpha two.”
Hening sejenak.
“Oh, no.”
. . . To be continuous . . . —Zhi