Janji dan Halusinasi
Golden Univ Street (12:30 p.m)
Satu, dua, puluhan langkah menjadi saksi perjalanan Pangeran, dan Putri malam itu. Menyusuri jalanan kota menuju rumah kedua bagi sang Putri. Hanya desing mesin mobil dan suara air pada langkah mereka yang memijak jalanan basah akibat gerimis dini hari itu.
“Ra?”
“Iya?”
“Kalau Kakak masih ada, mungkin kalian sudah bertunangan.”
“Kenapa tiba-tiba bilang gitu?”
“Aku jadi kepikiran. Kalau kamu tunangan Kakak, aku pasti sedih. Karena aku jatuh hati, jauh sebelum tau status kamu.”
Perempuan itu hanya terdiam.
“Rasanya pasti frustasi, saat melihat orang yang kamu dambakan bersanding bersama orang lain. Terlebih saat kamu ga bisa berbuat apapun untuk merubah takdir.”
“Bukankah takdir bisa dirubah?”
“Bisa. Hanya bisa terjadi saat orang itu berusaha. Tapi apa kamu tau, Princess? Ada hal mutlak di semesta ini yang tidak bisa kamu patahkan begitu saja.”
“Apa itu?”
“Kematian, benang merah, dan janji.”
“Janji juga termasuk?”
“Sama hal nya sumpah, janji itu sakral dan harus ditepati. Karena ada kepercayaan di dalamnya.”
“Jadi, kita ga boleh sembarangan membuat janji? Begitu?”
Sang pangeran terdiam. Entahlah, batinnya bagai disambar petir pada jalanan buntu. Nathan mengangguk. Tak terasa, kini mereka telah sampai pada tujuan, tepat di depan pintu masuk asrama putri yang bentuknya menyerupai apartemen. Karena telah dianggap dewasa, para Mahasiswa/i dibebaskan untuk keluar masuk pada pukul berapa-pun. Kecuali saat ada jadwal pemeriksaan bulanan dimana setiap kamar akan diperiksa satu persatu demi keamanan berupa tidak adanya mahasiswa yang menyembunyikan obat-obatan terlarang atau narkotika.
Nathan mengubah arah tubuhnya hingga saling berhadapan dengan sang Putri. Ia mengusap lembut pucuk kepala Kiera seraya tersenyum manis.
“Kedepannya aku bakalan sibuk dan sulit dihubungi. Aku harap kamu ga kepikiran soal itu.”
“Ah... Tugas itu ya? Aku ngerti kok, Na.” Sang Putri tersenyum.
“Kamu juga persiapkan diri. Waktunya ga akan lama lagi.” Ucap Nathan dibalas anggukan dari Kiera.
“Sekarang masuk, cuci kaki, cuci tangan, sikat gigi, cuci muka, pakai skincare lalu tidur. Jangan buka twitter, oke?”
“Hahahaa iya iya, kamu juga hati-hati di perjalanan, ya? Sampai di dorm lakuin apa yang kamu bilang tadi. Tapi kabarin aku dulu kalau kamu udah sampai atau aku gaakan bisa tidur.”
Sang Pangeran terkekeh.
“Princess, aku ga tau kamu ngelakuin ini atas dasar hati kamu sendiri atau bukan. Tapi aku bersyukur bisa dapat perhatian dari kamu.”
Kiera terdiam.
“K-kalau gitu aku masuk dulu ya? Kamu hati-hati di jalan.”
“Iya, jangan lupa mimpiin aku ya!”
“Engga mau wlee!” Kiera berbalik dan melangkah masuk melewati pintu yang berputar.
Keduanya mengakhiri hari bersama tersebut dengan tawa dan keusilan satu sama lain. Hingga sosok sang Putri lenyap di balik pintu, Nathan berbalik dan beranjak pergi dari tempat itu. Namun pada detik ke lima, langkahnya sempat terhenti saat maniknya menangkap sosok yang familiar berdiri di bawah lampu seberang jalan sana. Namun belum sempat ia sapa, sosok itu berlari bagai dikejar waktu. Ia sempat berpikir untuk mengejar, namun logikanya mengatakan bahwa hal itu hanyalah halusinasi belaka.
Nathan mengibaskan tangan di hadapan wajahnya. “Ah ga mungkin. Mending gue pulang terus tidur.” Ucapnya.